Selasa, 26 Maret 2013

Laporan Praktikum Fisika Farmasi Emulsifikasi

LAPORAN RESMI KELOMPOK B3
EMULSIFIKASI
SENIN, 18 MARET 2013
D-3 FARMASI POLITEKNIK KESEHATAN
TNI AU CIUMBULEUIT BANDUNG
2013
Di Susun Oleh Kelompok B3 :
1.Devi Rahmayanti (30511010)
2.Elda Damayanti (30511016)
3.Hesti Apriyani (30511026)
4.Itjce Swenda Manalu (30511030)
5.Rimawati (30511044)
Dibawah Bimbingan :
1.Ratih Wigatiningsih, S. Farm., Apt
2.Eva Pahlani, S.Si.,Apt
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 1
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam pembuatan emulsi.
2. Membuat meulsi dengan menggunakan eulgator golongan surfaktan.
3. Mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi.
4. Menentukan HLB Butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi.
II. DASAR TEORI
Suatu emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik yang mengandung paling sedikit dua fase cair yang tidak bercampur, dimana satu diantaranya didispersikan sebagai bola-bola dalam fase cair lain. Sistem dibuat stabil dengan adanya suatu zat pengemulsi. Baik fase terdispers atau fase kontinu bisa berkisar dalam konsistensi dari suatu cairan mobil sampai suatu massa setengah padat (semisolid). Jadi sitem emulsi berkisar dari cairan (lotio) yang mempunyai viskositas relatif rendah sampai salep atau krim, yang merupakan semisolid. Diameter partikel dari fase terdispers umumnya berkisar 0,1 – 10 mm, walaupun partikel sekecil 0,01 mm dan sebesar 100 mm bukan tidak biasa dalam beberapa sediaan.
Tidak ada teori emulsifikasi yang umum, karena emulsi dapat dibuat dengan menggunakan beberapa tipe zat pengemulsi yang masing-masing berbeda bergantung pada cara kerjanya dengan prinsip yang berbeda untuk mencapai suatu produk yang stabil. Zat pengemulsi bisa dibagi menjadi 3 golongan sebagai berikut :
a) Zat-zat yang aktif pada permukaan yang teradsorpsi pada antarmuka minyak/air membentuk lapisan monomolekular dan mengurangi tegangan antarmuka.
b) Koloid hidrofilik yang membentuk suatu lapisan multimolekular sekitar tetesan-tetesan terdispers dari minyak dalam suatu emulsi o/w.
c) Partikel-partikel padat yang terbagi halus, yang diadsorpsi pada batas antarmuka dua fase cair yang tidak bercampur dan membentuk suatu lapisan partikel di sekitar bola-bola terdispersi.
Berdasarkan macam zat cair yang berfungsi sebagai fase internal ataupun eksternal, maka emulsi digolongkan menjadi 2 : Emulsi yang mempunyai fase dalam minyak dan fase luar air disebut emulsi minyak-dalam-air dan biasanya diberi tanda sebagai emulsi “m/a”.
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 2
Sebaliknya emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak disebut emulsi air-dalam-minyak dan dikenal sebagai emulsi „a/m”. Karena fase luar dari suatu emulsi bersifat kontinu, suatu emulsi minyak dalam air diencerkan atau ditambahkan dengan air atau suatu preparat dalam air. Umumnya untuk membuat suatu emulsi yang stabil, perlu fase ketiga atau bagian dari emulsi, yakni: zat pengemulsi (emulsifying egent). Tergantung pada konstituennya, viskositas emulsi dapat sangat bervariasi dan emulsi farmasi bisa disiapkan sebagai cairan atau semisolid (setengah padat).
Fenomena penting lainnya dalam pembuatan dan penstabilan dari emulsi adalah inversi fase, yang dapat membantu atau merusak dalam teknologi emulsi, inversi fase meliputi perubahan tipe emulsi dari o/w menjadi w/o atau sebaliknya. Begitu terjadi inversi fase setelah pembuatan, secara logis hal ini dapat dipertimbangkan sebagai suatu pertanda dari ketidakstabilan.
Dari pertimbangan-pertimbangan ini, ketidakstabilan dari emulsi farmasi bisa digolongkang sebagai berikut:
1. Flokulasi dan creaming.
Flokulasi adalah suatu peristiwa terbentuknya kelompok-kelompok globul yang posisinya tidak beraturan di dalam emulsi. Creaming adalah suatu peristiwa terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbeda-beda di dalam emulsi. Lapisan dengan konsentrasi paling pekat akan berada di sebelah atas atau bawah tergantung dari bobot jenis.
2. Penggabungan (Koalesen) dan pemecahan (Deemulsifikasi)
Creaming harus dilihat secara terpisah dari pemisahan, karena creaming merupakan suatu proses bolak-balik, sedangkan pemecahan merupakan proses searah. Krim yang menggumpal bisa didispersikan kembali dengan mudah, dan dapat terbentuk kembali suatu campuran yang homogen dari suatu emulsi yang membentuk krim dengan pengocokan, karena bola-bola minyak masih dikelilingi oleh suatu lapisan pelindung dari zat pengemulsi. Jika terjadi pemecahan, pencampuran biasa tidak bisa mensuspensikan kembali bola-bola tersebut dalam suatu bentuk emulsi yang stabil, karena lapisan partikel-partikel tersebut telah dirusak dan minyak cenderung untuk bergabung. Telah dilakukan suatu usaha yang dapat dipertimbangkan untuk mempelajari ketidakstabilan pemecahan.
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 3
3. Berbagai jenis perubahan kimia dan fisika.
4. Inversi fase.
Kestabilan Emulsi
Bila dua larutan murni yang tidak saling campur/ larut seperti minyak dan air, dicampurkan, lalu dikocok kuat-kuat, maka keduanya akan membentuk sistem dispersi yang disebut emulsi. Secara fisik terlihat seolah-olah salah satu fasa berada di sebelah dalam fasa yang lainnya. Bila proses pengocokkan dihentikan, maka dengan sangat cepat akan terjadi pemisahan kembali, sehingga kondisi emulsi yang sesungguhnya muncul dan teramati pada sistem dispersi terjadi dalam waktu yang sangat singkat.
Kestabilan emulsi ditentukan oleh dua gaya, yaitu:
1. Gaya tarik-menarik yang dikenal dengan gaya London-Van Der Waals. Gaya ini menyebabkan partikel-partikel koloid berkumpul membentuk agregat dan mengendap.
2. Gaya tolak-menolak yang disebabkan oleh pertumpang-tindihan lapisan ganda elektrik yang bermuatan sama. Gaya ini akan menstabilkan dispersi koloid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi, adalah:
1. Tegangan antar muka rendah
2. Kekuatan mekanik dan elastisitas lapisan antarmuka
3. Tolakkan listrik double layer
4. Relatifitas phase pendispersi kecil
5. Viskositas tinggi.
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 4
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat yang Digunakan
Nama Alat
Gambar
Nama Alat
Gambar
1. Mortir dan Stamper
2.Beaker Glass
3.Spatel Logam
4.Pipet Tetes
5.Gelas Ukur
6.Kompor Listrik
3.2 Bahan yang Digunakan
1. Tween 80
2. Span 80
3. Aquadest
4. Oleum Cocos
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 5
VI. PROSEDUR PRAKTIKUM
4.1 Penentuan HLB butuh minyak dengan jarak HLB besar.
4.2 Tabel Jumlah Tween 80, Span 80, Minyak dan air yang dibutuhkan untuk masing – masing harga HLB.
HLB Butuh
Tween 80
Air
Span 80
Oleum Cocos
6
0,4766 gram
20 ml
2,5234 gram
20 ml
7
0,757 gram
20 ml
2,243 gram
20 ml
8
1,0378 gram
20 ml
1,9622 gram
20 ml
9
1,3177 gram
20 ml
1,6829 gram
20 ml
Hitunglah jumlah Tween 80 dan Span 80 yang dibutuhkan untuk masing- masing harga HLB Butuh.
Masukan campuran span 80 + minyak kedalam mortir. Aduk ad homogen. Tambahkan campuran tween 80 + air kedalam mortir sedikit demi sedikit sambil diaduk ad homogen.
Panaskan mortir dengan air panas.
Campurkan minyak dengan span 80 dan air dengan tween 80.
Lalu panaskan diatas penangas air sampai suhu 600 C.
Timbang masing – masing minyak 20 gram, air 20 ml, tween 80, span 80 sejumlah yang dibutuhkan.
Masukan kedalam botol dan beri tanda untuk masing – masing HLB. Amati kestabilannya selama 1 minggu. Catat pada HLb berapa emulsi relative paling stabil.
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 6
V. HASIL PENGAMATAN
5.1 Data Pengamatan Sediaan Emulsi dari Masing – masing Seri Emulsi
HLB
Butuh
Volume Awal
(Vo)
Volume Aklhir
(Vu)
F
Pengamatan selama 1 minggu
Fase Minyak
Fase Air
6
6,80 cm
2,0 cm
4,8 cm
0,29
Terjadi peristiwa Creaming. Tetapi setelah pengocokan sebanyak 5x, larutan kembali terdispersi Kemudian, setelah didiamkan terjadi pemisahan fase minyak dan fase air kembali dengan waktu yang lambat.
7
6,90 cm
1,90 cm
5,0 cm
0,27
Terjadi peristiwa Creaming. Tetapi kembali terdispersi setelah pengocokan 5x. Setelah didiamkan pemisahan fase air dan fase minyak kembali terjadi dengan waktu yang lambat.
8
6,80 cm
1,75 cm
5,5 cm
0,17
Terjadi peristiwa Creaming. Tetapi setelah dikocok sebanyak 5x, larutan dapat terdispersi kembali. Dan saat didiamkan kembali terjadi pemisahan antara fase minyak dan fase air dengan cepat.
9
6,85 cm
1,15 cm
5,7 cm
0,16
Terjadi peritiwa creaming. Tetapi setelah dikocok sebanyak 5x, larutan dapat terdispersi kembali. Dan saat didiamkan kembali terjadi pemisahan antara fase minyak dan fase air yang lebih cepat dibanding HLB 8, 7 dan 6.
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 7
5.2 Data Pengamatan Creaming yang Terbentuk Dari Masing-masing Seri Emulsi
5.3 Data Nilai F (Volume Sedimentasi) dari Setiap Kelompok
HLB
Kelompok B1
Kelompok B2
Kelompok B3
Kelompok B4
Kelompok B5
Rata-Rata Nilai F
6
0,33
-
0,29
-
0,33
0,32
7
0,28
-
0,27
-
0,33
0,29
8
0,29
-
0,17
-
0,27
0,24
9
0,27
-
0,16
-
0,26
0,23
10
-
0,33
-
0,37
-
0,35
11
-
0,32
-
0,34
-
0,47
12
-
0,32
-
0,33
-
0,32
13
-
0,41
-
0,32
-
0,36
HLB Butuh
Creaming yang Terbentuk
6
2,0 cm
7
1,90 cm
8
1,75 cm
9
1,15 cm
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 8
VI. PERHITUNGAN - PERHITUNGAN
6.1 Penentuan HLB Butuh Minyak dengan Jarak HLB Besar
R/ Minyak 20
Tween 80 3,0
Span 80
Air ad 100 ml
1.Perhitungan HLB 6
a x 15,0 + 4,3 ( 3 – a ) = 6 x 3
15,0 a + 12,9 – 4,3 a = 18
10,7 a = 18 – 12,9
Tween 80 yang dibutuhkan a = 0,4766 gram
Span 80 yang dibutuhkan = ( 3-a )
= 3 – 0,4766 = 2,5234 gram
2.Perhitungan HLB 7
a x 15,0 + 4,3 ( 3 – a ) = 7 x 3
15,0 a + 12,9 – 4,3 a = 21
10,7 a = 21 – 12,9
Tween 80 yang dibutuhkan a = 0,757 gram
Span 80 yang dibutuhkan = ( 3-a )
= 3 – 0,757 = 2,243 gram
3.Perhitungan HLB 8
a x 15,0 + 4,3 ( 3 – a ) = 8 x 3
15,0 a + 12,9 – 4,3 a = 24
10,7 a = 24 – 12,9
Tween 80 yang dibutuhkan a = 1,0378 gram
Span 80 yang dibutuhkan = ( 3-a )
= 3 – 1,0378 = 1,9622 gram
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 9
6.2 Perhitungan Nilai F (Volume Sedimentasi) dari Masing – masing Seri Emulsi.
Volume Sedimentasi yang terbentuk dapat dihitung dengan  F =
HLB Butuh 6 → F = = 0,29
HLB Butuh 7 → F = = 0,27
HLB Butuh 8 → F = = 0,17
HLB Butuh 9 → F = = 0,16
4.Perhitungan HLB 9
a x 15,0 + 4,3 ( 3 – a ) = 9 x 3
15,0 a + 12,9 – 4,3 a = 27
10,7 a = 27 – 12,9
Tween 80 yang dibutuhkan a = 1,3177 gram
Span 80 yang dibutuhkan = ( 3-a )
= 3 – 1,3177 = 1,6829 gram
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 10
VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum fisika farmasi ini, kita melakukan percobaan emulsifikasi, pada percobaan ini digunakan air dan minyak kelapa (Oleum Cocos). Air dan minyak kelapa mempunyai perbedaan sifat kepolaran dan perbedaan berat jenis. Air dengan rumus molekul H2O memiliki sifat polar karena momen dipolnya tinggi, Minyak kelapa memiliki sifat non polar karena momen dipolnya yang kecil. Akibat perbedaan kepolaran ini air dan minyak kelapa tidak dapat menyatu, karena sifat pelarutan adalah kecendrungan “like dissolves like”. Pelarut yang bersifat polar akan larut di pelarut yang bersifat polar juga, dan pelarut yang bersifat non polar akan larut di pelarut yang bersifat non polar juga. Berat jenis air lebih tinggi daripada minyak, sehingga ketika dilarutkan air berada di bawah minyak.
Untuk membuat suatu sediaan emulsi, diperlukan suatu emulgator. Emulgator ini akan berfungsi untuk membuat partikel minyak menjadi terdispersi dalam air sehingga air dan minyak dapat menyatu. Emulgator yang paling umum digunakan adalah surfaktan. Surfaktan (surface active agent) adalah suatu senyawa yang bersifat amphifil. Senyawa amphifil adalah senyawa yang mempunyai gugus polar dan gugus non polar. Pada percobaan ini digunakan surfaktan kombinasi yaitu tween 80 dan span 80 sebagai emulgator.
Karena pada percobaan kali ini digunakan surfaktan yang kombinasi yaitu tween 80 dan span 80, maka diperlukan nilai HLB (Hydrophylic – Lypopilic Balance) butuh minyak. HLB butuh minyak setara dengan HLB campuran surfaktan yang digunakan untuk mengemulsikan minyak sehingga membentuk emulsi yang stabil. HLB butuh minyak ini perlu ditentukan apabila emulsi menggunakan kombinasi surfaktan. HLB butuh minyak harus berada di rentang nilai HLB kombinasi surfaktan. Pada prakktikum ini digunakan surfaktan tween 80 dengan nilai HLB 15,0 yang dtambahkan air 20 ml dan span 80 nilai HLBnya 4,3 yang ditambahkan minyak kelapa 20 ml.
Pencampuran Tween 80 dengan air (fase air) karena nilai HLB Tween 80 relatif tinggi yaitu sebesar 15. Nilai HLB yang tinggi menunjukkan bahwa Tween 80 bersifat polar sehingga dapat bercampur dengan air yang bersifat polar. Sedangkan Span 80 dicampur dengan oleum cocos (fase minyak), karena Span 80 memiliki nilai HLB yang lebih rendah yaitu 4,3 dan menunjukkan bahwa Span 80 bersifat non polar sehingga dapat bercampur dengan minyak.
Pada praktikum emulsifikasi ini, praktikan mengamati kestabilan emusli dengan mengamati ada/tidaknya creaming pada sediaan emulsi yang telah diketahui nilai HLB-nya.
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 11
Setiap kelompok mengamati masing-masing empat sediaan emulsi dengan nilai HLB butuh tiap kelompok adalah Kelompok B1, B3, B5 HLB butuh 6, 7, 8, 9 dan kelompok B2 dab B4 nilai HLB butuh 10, 11, 12, 13.
Dari semua sediaan emulsi yang kelompok kami (B3) buat, sediaan tesebut didiamkan selama satu minggu. Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa dari semua seri emulsi dengan nilai HLB butuh berturut-turut 6, 7, 8, 9 menghasilkan creaming di bagian atas dengan tinggi yang bervariasi. Terbentuknya creaming menandakan emulsi yang terbentuk tidak stabil. Creaming yang terbentuk mengarah ke atas. Berikut grafik pengamatan Creaming yang terbentuk dari seri emulsi yang dibuat oleh kelompok kami (B3).
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semua HLB mengalami creaming. Tinggi creaming pada emulsi dengan HLB 6 lebih tinggi dibandingkan tinggi creaming pada HLB 7, 8,9. Tinggi creaming tersebut menunjukan kestabilan dari suatu emulsi, dimana apabila creaming yang terbentuk lebih tinggi maka emulsi lebih tidak stabil, dan apabila tinggi creaming yang terbentuk lebih rendah maka seri emulsi ltersebut lebih stabil.
Kemudian masing – masing seri emulsi dilakukan pengocokan sebanyak 5X, setelah pengocokan semua larutan kembali terdispersi membentuk emulsi. Namun pada saat didiamkan pemisahan yang terjadi antara fase minyak dan fase air pada HLB 6 ini terjadi sangat lambat dibanding HLB lainnya. Berdasarkan grafik dapat terlihat juga bahwa, emulsi dengan nilai HLB 9 memiliki laju creaming yang sangat kecil sehingga tinggi creaming lebih rendah daripada HLB lain. Sehingga pada saat didiamkan kembali terjadi pemisahan fase minyak dan fase air lebih cepat dibandingkan dengan HLB 6, 7, dan HLB 8.
2
1,9
1,75
1,15
0
0,5
1
1,5
2
2,5
HLB 6
HLB 7
HLB 8
HLB 9
Y= Creaming yang Terbentuk (Cm)
dan X = HLB butuh
Tinggi creaming yang
Terbentuk (Cm)
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 12
Selain mengamati creaming yang terbentuk dari setiap seri emulsi dengan masing-`masing nilai HLB butuh. Kami juga mengukur berapa volume sedimentasi yang dibentuk pada saat terjadinya creaming pada masing – masing seri emulsi. Berikut grafik hasil pengukuran volume sedimentasi yang diperoleh berdasarkan data pengamatan yang kelompok kami (B3) lakukan.
Nilai F berhubungan dengan hasil percobaan system disperse pada praktikum sebelumnya dimana suatu sediaan emulsi atau suspense dikatakan baik (stabil) apabila mempunyai nilai F mendekati sama dengan 1. Selain semakin kecil nila F maka emulsi tersebut lebih stabil, dan apabila nilai F yang dihasilkan lebih besar maka seri emulsi cenderung tidak stabil.
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa, emulsi dengan nilai HLB 6 dan 7 merupakan emulsi paling tidak stabil karena nilai F yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan HLB yang lain yakni 0,29 dan 27. Hal itu karena seri emulsi HLB 6 memiliki tinggi creaming lebih besar sehingga lebih tidak stabil. Sedangkan emulsi dengan nilai HLB 8 dan 9 nilai F yang dihasilkan lebih kecil yaitu sebesar 0,17 dan 0,16. Hal itu karena pada HLB 8 dan 9 creaming yang terbentuk lebih rendah dari seri HLB 6 dan 7. Namun semua seri emulsi yang dibuat kelompok kami masih cukup baik karena menghasilkan nilai F mendekati sama dengan 1.
Untuk membandingkan seluruh data hasil pengamatan dari setiap kelompok pada masing – masing seri emulsi dengan nilai HLB butuh yang berbeda, maka dibuat grafik perbandingan dengan terlebih dahulu menghitung nilai F rata – rata dari setiap kelompok untuk masing-masing seri emulsi yang nilai HLB nya sama.
0,29
0,27
0,17
0,16
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
HLB 6
HLB 7
HLB 8
HLB 9
Y = Nilai F dan X = HLB Butuh
F (Volume
Sedimentasi)
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 13
Berdasarkan grafik diatas, dapat diketahui bahwa emulsi dengan nilai HLB butuh 13 memiliki nilai volume sedimentasi (F) rata-rata yang lebih besar dibandingkan HLB lainnya yakni sebesar 0,36. Nilai F yang lebih besar ini disebabkan oleh tingginya creaming yang terbentuk pada suatu seri emulsinya. Artinya bahwa seri emulsi dengan HLB 13, merupakan seri emulsi yang lebih tidak stabil dibandingkan seri emulsi HLB yang lain. Sedangkan emulsi dengan nilai HLB 9 memiliki nilai volume sedimentasi (F) rata –rata yang lebih kecil sebesar 0,23, oleh karena itu seri emulsi HLB 9 lebih stabil dibandingkan seri emulsi lainnya karena creaming yang terbentuk juga lebih rendah. Namun creaming yang terbentuk pada semua seri emulsi masih bisa diperbaiki dengan pengocokan sebanyak 5x, hal itu menunjukkan bahwa semua seri emulsi yang telah dibuat untuk masing – masing Harga HLB 6,7,8,9,10,11,12,13 masih cukup baik.
. Sehingga apabila diurutkan berdasarkan hasil uji dispersibilitas dari hasil pengamatan semua kelompok, yakni HLB 9 < HLB 8 < HLB 7 < HLB 6 < HLB 12 < HLB 11< HLB 10< HLB 13.
VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum emulsifikasi yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada praktikum digunakan surfaktan kombinasi yaitu tween 80 dan span 80 sebagai emulgator.
2. Semua seri emulsi dengan nilai HLB butuh 6, 7, 8, 9 menghasilkan creaming di bagian atas dengan tinggi yang bervariasi, diantaranya :
 HLB butuh 6 menghasilkan tinggi creaming = 2,0 Cm
0,32
0,29
0,24
0,23
0,35
0,33
0,32
0,36
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
HLB 6
HLB 7
HLB 8
HLB 9
HLB 10
HLB 11
HLB 12
HLB 13
Y = F ( Volume Sedimentasi) dan X = Nilai HLB Butuh
F (Volume Sedimentasi)
[LAPORAN RESMI KELOMPOK B3] 11 Maret 2013
Laporan Praktikum Fisika Farmasi | 14
 HLB butuh 7 menghasilkan tinggi creaming = 1,90 Cm
 HLB butuh 8 menghasilkan tinggi creaming = 1,75 Cm
 HLB butuh 9 menghasilkan tinggi creaming = 1,15 Cm
3. Nilai F ( volume sedimentasi) yang diperoleh dari masing – masing seri emulsi dengan nilai HLB 6, 7, 8, 9, diantaranya :
 HLB butuh 6, nilai F yang dihasilkan sebesar 0,29 Cm
 HLB butuh 7, nilai F yang dihasilkan sebesar 0,27 Cm
 HLB butuh 8, nilai F yang dihasilkan sebesar 0,17 Cm
 HLB butuh 9, nilai F yang dihasilkan sebesar 0,16 Cm
4. Dari hasil praktikum kelompok B3 semua seri emulsi baik, namun yang lebih stabil adalah seri emulsi HLB 9 dengan nila F yang lebih medekati 1.
5. Hasil uji dispersibilitas yang dilakukan pada masing-masing HLB butuh berturut-turut, yakni: HLB 6 < HLB 7 < HLB 8 < HLB 9.
6. Dari data semua kelompok, seri emulsi yang paling stabil adalah seri emulsi dengan HLB butuh 9 dan yang tidak stabil adan seri emulsi dengan nilai HLB 13.
7. Berdasarkan hasil uji dispersibilitas dari hasil pengamatan semua kelompok, yakni HLB 9 < HLB 8 < HLB 7 < HLB 6 < HLB 12 < HLB 10 < HLB 11< HLB 13.
XI. DAFTAR PUSTAKA
- Tim Dosen (2013)., “Modul Penuntun Praktikum Farmasi fisika”, Jurusan Farmasi, Poltekes TNI AU. Bandung.
- Anief. Moh. 2000. Farmasetika. Gajah Mada University Press : Yogyakarta
- Anonim a. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen kesehatan RI
- Anonim b. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesi.
Bandung, 27 Maret 2013
Pengawas Praktikan
( ) Kelompok B3

Jumat, 22 Maret 2013

Makalah Kunjungan Lakespra "H.U.E.T"

H.U.E.T (Helicopter Underwater Escape Training)
D-III Farmasi Poltekes TNI AU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Helikopter merupakan sarana angkutan udara yang paling aman. Pada era kemajuan tekhnologi yang sedemikian pesat ini, peranan helikopter sebagai sarana angkutan udara merupakan hal yang penting dan aman. Ini disebabkan karena perawatan helikopter sangat berbeda jika dibandingkan dengan sarana angkutan orang/barang di darat ataupun dilaut. Beberapa faktor keselamatan udara degan helikopter dapat dilihat mulai dari pengujian kemampuan pilot secara berkala dan berkesinambungan. Kemampuan dan “atittude” terbang pilot biasanya diuji dan dilakukan secara periodik. Hal ini tidak kita dapatkan pada angkutan darat dan laut seperti „pilot‟ bus dan kapal laut.
Kecanggihan helikopter dalam menjamin keselamatan penumpangnya kini juga semakin didukung tekhnologi yang sangat tinggi. Misalnya, beberapa alat bantu keselamatan udara terpasang secara otomatis seperti; Crash Position Indicator (CPI) yang diletakkkan di rotor belakang dan akan berfungsi secara otomatis jika terjadi keadaan darurat, ILT, EPIRB dan PLB. Kesemuanya merupakan alat bantu menemukan keselamatan helikopter jika terjadi keadaan darurat sehingga dapat terdeteksi dan memudahkan proses SAR dalam menyelamatkan para penumpangnya.
Permasalahan diatas dapat diatasi dengan melakukan pelatihan dan pendidikan kepada calon penerbang supaya faktor – faktor penyebab kecelakaan dapat terhidarkan. Begitupun halnya tujuan dari kunjungan kami kesebuah lembaga kesehatan penerbangan dan luar angkasa (LAKESPRA). Meski demikian, LAKESPRA tidak hanya mengurusi masalah-masalah kesehatan penerbang TNI-AU saja. Melainkan menangani kesehatan penerbangan sipil disamping menjadi rujukan ilmiah seluruh masyarakat penerbangan termasuk kajian masalah kesehatan di bidang Antariksa.
Namun ketika suatu saat menumpang helikopter mendarat darurat (ditching) dan jatuh ke laut. Bagaimana cara penyelamatan dan lolos dari bahaya sampai bantuan “Search and Rescue” datang. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai cara penyelamatan dan lolos dari bahaya ketika helicopter jatuh ke laut.
H.U.E.T (Helicopter Underwater Escape Training)
D-III Farmasi Poltekes TNI AU Page 2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA)?
2. Apa saja Fasilitas yang Dimiliki serta Bagaimana Proses Pengujian Bagi Penerbang?
3. Fungsi Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA)bagi dunia penerbangan.?
4. Apa yang dimaksud HUET ?
5. Apa Tujuan Dilaksanakan Pelatihan HUET?
6. Dimanakah tempat HUET serta Alat Peraga Pelatihan HUET?
7. Bagaimana teknis pelatihan HUET ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui berbagai hal yang ada di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA) yang berhubungan dengan kesehatan penerbangan.
2. Untuk mengetahui tujuan dilakukan pelatihan HUET.
3. Untuk mengetahui alat perga yang digunakan pada pelatihan HUET serta bagaimana teknis pelatihan HUET.
4. Untuk mengetahui bagaimana tindakan ketika helicopter jatuh
H.U.E.T (Helicopter Underwater Escape Training)
D-III Farmasi Poltekes TNI AU Page 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA)
Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA) adalah lembaga milik TNI Angkatan Udara (TNI-AU), bagian dari direktorat kesehatan. Meski demikian, LAKESPRA tidak hanya mengurusi masalah-masalah kesehatan penerbang TNI-AU saja. Melainkan menangani kesehatan penerbangan sipil disamping menjadi rujukan ilmiah seluruh masyarakat penerbangan termasuk kajian masalah kesehatan di bidang Antariksa.
Nama lengkap lembaga ini adalah Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa Dr. Saryanto, dimana Dr. Saryanto adalah tokoh pendiri lembaga ini pada tahun 1965. Lembaga ini terletak di jalan MT. Haryono, Jakarta. Berupa bangunan bergaya lama berbentuk segi delapan. Di depan bangunan itu terdapat sebuah pesawat DC-3 Dakota.
2.2 Fasilitas Yang Dimiliki Serta Proses Pengujian Bagi Penerbang
Dilihat dari udara, Lakespra Dr. Saryanto ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian depan adalah bangunan yang dipakai untuk kepentingan "aerofisiologi" dan bagian belakang digunakan untuk "aeroklinik". Bangunan bagian belakang itulah yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat banyak guna kepentingan pemeriksaan rutin kesehatannya dengan sarana dan prasarana serta tenaga ahli yang memadai. Selain masyarakat, fasilitas ini digunakan juga oleh sebagian pejabat pemerintahan Indonesia guna memeriksa kesehatannya.
Bangunan bagian depan, bagian aerofisiologi adalah bagian yang khusus digunakan untuk awak pesawat militer maupin sipil. Meski bangunannya adalah bangunan lama dengan gaya tahun 1960-an dengan bentuk segi delapan namun peralatan yang dimilikinya dapat digunakan untuk penelitian, medis dan kesehatan para awak pesawat hingga mencapai ketinggian lebih dari 50.000 kaki bahkan menjangkau masa depan. Disinilah para calon penerbang, awak pesawat, pilot, penerjun bebas, calon pendaki gunung dan antariksawan diuji dan dilihat kemampuannya. Yang pasti, mereka tidak bisa lolos dari kenyataan kondisi fisik yang dimiliki untuk menghadapi dampak fisiologis penerbangan atau ketinggian. Karena fasilitas ini termasuk yang terlengkap khususnya di kawasan Asia Tenggara atau dikalangan negara-negara ASEAN,
H.U.E.T (Helicopter Underwater Escape Training)
D-III Farmasi Poltekes TNI AU Page 4
banyak pula penerbang-penerbang negara lain baik sipil dan militer yang juga ikut memanfaatkan lembaga ini khususnya melalui hubungan persahabatan antar negara. Sebagai contoh, Malaysia mengirimkan calon antariksawan-nya di lembaga ini guna menguji kemampuan fisik dan kesehatan mereka dalam program Angkasawan-nya.
Untuk menguji para penerbang, maupun kalangan yang nantinya akan berdinas atau bekerja ataupun bepergian di kawasan ketinggian ekstrem maupun antariksawan, mereka melakukan ILA atau Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi. Dan untuk mengetahui kemampuan seseorang dalam menghadapi ketinggian dimana kadar oksigen, tekanan dan suhu yang semakin rendah, digunakan hypobaric/altitude chamber, yakni sebuah ruangan yang bisa disimulasikan pada suatu ketinggian yang diinginkan. Untuk pengujian, umumnya ketinggian yang digunakan adalah 18.000 kaki atau sekitar 5.486 meter. Pada ketinggian itu, kadar oksigen sudah sangat tipis dan tekanan udara hanya 380 mmHg, dengan suhu mencapai minus (-) 20,7 derajat Celcius, jauh dibawah dinginnya es. Seseorang akan mengalami pengaruh kedaan itu antara lain hypoxia, kekurangan oksigen, tidak bisa berfikir sempurna atau bahkan pingsan.
Dalam pengujian di ruang altitude chamber ini nampak jelas keadaan seseorang yang nantinya berada di kawasan dengan ketinggian yang memiliki kondisi ekstrem. Ketika seseorang berada dalam ruangan ini, yang diberi kondisi ketinggian 18.000 kaki, disana peserta aka diuji dengan menggunakan persoalan matematika sederhana seperti penjumlahan dan pengurangan seperti halnya 2+2, 4+1,5-3 dan sebagainya. Disana banyak dari peserta yang tidak dapat menjawabnya dengan benar. Umumnya peserta yang demikian adalah calon-calon penerbang yang mengikuti seleksi masuk baik penerbang sipil maupun militer. Selain pengujian di atas, para calon penerbang ini menjalani pemeriksaan-pemeriksaan dengan teliti dan diberi pengetahuan tentang masalah-masalah dalam kondisi ketinggian atau melawan gaya gravitasi. Dan sebenarnya prosedur maupun pemeriksaan serta pelatihan seperti itu tidak hanya diberikan kepada calon penerbang, mereka yang sudah menekuni profesinya tersebut juga dikirim ke Lakespra untuk melakukan konsultasi psikiatri penerbangan, khususnya lagi bagi mereka yang mengalami kecelakaan penerbangan atau masalah dalam penerbangannya.
Bagi penerbang, terlebih lagi penerbang pesawat tempur, mereka harus melakukan ILA enam bulan sekali. Mereka menjalani uji rutin kesiapan fisiknya terhadap pengaruh-pengaruh gaya gravitasi, pengaruh kurangnya oksigen sampai penggunaan kursi lontar. Selain itu, mereka
H.U.E.T (Helicopter Underwater Escape Training)
D-III Farmasi Poltekes TNI AU Page 5
diuji dengan alat-alat yang dimiliki Lakespra antara lain Human Centrifuge, Basic Orientation Trainer, Night Vision Trainer, Osy Fault Trainer, Positivr-Pressure-Breathing, dan Ejection Seat Trainer.
Dalam uji meloncat dari pesawat tempur dengan kursi lontar misalnya, untuk melakukan simulasi ketika pesawat mengalami kerusakan di udara, tidak bisa dilatihkan dengan secara nyata seperti halnya terjun payung. Untuk itu, Lakespra menyediakan sebuah kursi lontar tiruan untuk digunakan sebagai latihan. Bila kursi lontar sebenarnya digerakkan oleh sebuah roket yang dipasang di bawah kursi penerbang. Maka kursi lontar tiruan di Lakespra digerakkan oleh tekanan gas. Meskipun demikian, dalam latihan harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati karena memiliki bahaya yang cukup besar. Bila kurang hati-hati, tulang belakang peserta bisa patah.
2.3 LAKESPRA Sebagai Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pendidikan
Sebagai lembaga yang mengurusi kesehatan penerbangan dan ruang angkasa, Lakespra Dr. Saryanti juga melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan. Kegiatannya antara lain dengan mengadakan Journal Reading, temu ilmiah, simposium, penelitian pengaruh kekurangan oksigen, hypoxia, pengaruh terhadap penglihatan, intelegensia, sistem aliran darah/jantung, penelitian kondisi tulang leher bagi calon-calon penerbang pesawat tempur modern, serta penelitian mengenai gigi-geligi dan banyak lagi.
Sebagai contoh, kondisi panjang-pendeknya tulang leher bagi para penerbang. Tidak hanya pada petinju yang memiliki leher pendek seperti halnya petinju kelas berat Mike Tyson pada dekade 1990-an, yang dikatakan atau dianggap paling ideal, maka bagi penerbang tempur, leher pendek juga memiliki pengaruh terhadap fisiknya. Menurut penelitian, penerbang yang memiliki leher pendek memiliki daya ketahanan yang lebih daripada penerbang lain, terhadap pengaruh gaya gravitasi dan tipe penerbang seperti ini jarang sekali mengalami "black out", gelap pandang pada saat melakukan atau terjadi manuver berat dalam penerbangannya.
Selain itu, Lakespra juga mengadakan program pendidikan yang berkaitan dengan kesehatan penerbangan dan antariksa. Kegiatannya antara lain sekolah perawat udara, sekolah kesehatan penerbangan dan ruang angkasa (Sekespra), pelatihan para dokter umum, dokter gigi,
H.U.E.T (Helicopter Underwater Escape Training)
D-III Farmasi Poltekes TNI AU Page 6
psikolog atau insinyur baik sipil maupun militer untuk menjadi dokter penerbangan (Flight Surgeon). Ada juga program pasca sarjana (S-2) yang diselenggarakan oleh lembaga ini
2.4 Definisi H.U.E.T
H.U.E.T adalah singkatan dari Helicopter Underwater Escape Training ,yang artinya Latihan menyelamatkan diri dari helicopter ketika berada didalam air.
HUET merupakan paket pendidikan & pelatihan prosedur pelepasan diri (escape) penerbang dan penumpang helikopter yang mengalami pendaratan darurat di laut/ danau. Untuk praktek pelatihan (simulasi) helikopter masuk kedalam air digunakan sarana HMTS (Helicopter Mock-up Training Simulator) yang diceburkan kedalam kolam air.
Sistem HUET terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak pendidikan & pelatihan yang ditujukan bagi personil pemula (initial training), personil yang sedang bertugas (recurrent training) serta personil yang perlu diperiksa kecakapannya (proficiency check).
Teori dasar metode dan prosedur pelepasan diri dari helicopter cockpit/ cabin diajarkan di dalam ruang kelas yang ditunjang dengan perangkat CBT (Computer Based Training) dan disertai dengan peragaan serta praktek pelatihan sebenarnya yang dialami oleh siswa peserta pelatihan dengan memakai HMTS di kolam air.
2.5 Tujuan
Tujuan pelatihan ini yaitu :
Memberikan pengetahuan dan kemampuan kepada Crew dan penumpang agar dapat melakukan dan menyelamatkan diri secara maksimal pada situasi keadaan darurat ketika helicopter terpaksa mendarat di air dan kemungkinan tenggelam.
2.6 Tempat dan alat pelatihan
Tempat latihan diadakan di kolam renang dengan sebuah modul simulasi mirip sebuah helicopter ,dengan kelengkapan kursi pilot dan kursi penumpang lengkap dengan sabuk pengamannya juga beberapa pintu darurat dengan handelnya. Modul ini digantung dengan semacam crane yang dioperasikan dengan alat kontrol untuk menurunkan , menaikan dan membalikan modul didalam air kolam renang.
H.U.E.T (Helicopter Underwater Escape Training)
D-III Farmasi Poltekes TNI AU Page 7
2.6 Teknis Pelatihan
Teknis pelatihan :
Salah satu contoh bagian dari latihan sebagai berikut :
 Para peserta yang berperan sebagai crew dan penumpang naik kedalam modul yang tergantung diatas air dan duduk menempati kursinya masing2 dengan sabuk pengaman ( seat belt ) terpasang. Kemudian sebelum modul di celupkan kedalam air perhatikan dan ingat prosedur sebagai berikut.
 Pastikan dan ingat posisi pintu keluar ada sebelah mana kita.
 Pastikan seatbelt terkunci erat dan strap di baju pelampung tidak terjepit seatbelt, ujung sisa dari seatbelt sisipkan kebelakang biar tidak mengganggu.
 Lepaskan semua benda tajam seperti pena dan kacamata.
 Ambil brace position, posisi dimana salah satu tangan memegang erat bagian bawah kursi, badan menunduk dan tangan lainnya memeluk erat pundak tangan satunya, kepala ditundukkan sedalam mungkin. Kalau pintu keluar di kanan, tangan yg memegang kursi adalah tangan kiri dan sebaliknya, agar tangan yg memegang pundak bisa digunakan untuk membuka pintu. ( prosedur yang ini tidak berlaku untuk peran sebagai Pilot )
 Persiapan untuk impact
 Kemudian pelatih akan memberi aba2 ..ditching..ditching..ditching.
 Selanjutnya modul dicelupkan dan dibibalikan didalam air ,dalam situasi ini para peserta dilatih agar dapat keluar dari modul dengan cara yang benar.
 Berikut ini langkah2 nya yang harus selalu diingat baik dalam situasi latihan ataupun dalam situasi sesungguhnya bila trpaksa harus mengalaminya :
 Masih dalam keadaan brace position, pastikan keadaan sudah stabil, hitung dulu 5detik sebelum berusaha keluar.
 Tetap berpegangan pada kursi, cari dan buka pintu atau jendela, kalau jendela gunakan siku untuk memukul dan membuka jendela
 Setelah terbuka, dengan tetap berpegangan di kursi, buka seatbelt dengan tangan satunya.
 Tetap berpegangan pada kursi, pegang pintu keluar, lepaskan kursi dan tarik badan keluar.
H.U.E.T (Helicopter Underwater Escape Training)
D-III Farmasi Poltekes TNI AU Page 8
 Setelah yakin berada diluar modul, kembangkan baju pelampung dengan menarik labelnya ( hanya simulasi )
2.7 Tindakan Ketika Helikopter Jatuh. “Do not be panic”
Itu merupakan tindakan pertama ketika kita helikopter yang kita tumpangi jatuh ke laut. Karena ketika kita dalam keadaan panik, kita tidak dapat berbuat apa-apa atau bahkan berbuat sesuatu yang lebih berbahaya/membahayakan orang lain. Misalnya, kalau kita meronta-ronta dan memukul dan menendang kanan kiri karena panik dapat berakibat fatal bagi kita dan orang lai disamping kita. Atau bahkan kita menjadi tak dapat membuka ‟safety belt‟ yang terpasang di badan kita sebelum akhirnya kita kehilangan nafas. Panik merupakan hal wajar dilakukan setiap manusia, namun masalahnya adalah bagaimana kita bisa mengendalikan panik tersebut sehingga pada akhirnya dapat menyelamatkan kita dan orabng lain.
Saat pelatihan, kita dimasukkan ke dalam ruang simulasi seperti replika badan helikopter sungguhan dengan ketelitian alat peralatan yang menyerupai bentuk aslinya seperti; pintu, jendela, kaca, ruang kokpit, tempat duduk dan seat belt yang ketelitiannya mirip sekali dengan helikopter aslinya. Kemudian, di darat setelah kita memasang sabuk pengaman, kemudian ada aba-aba dari instruktur dan pilot menyatakan “keadaan darurat, persiapan mendarat di laut”….dan byuuurrrr…helikopter kita diluncur terbalik dan jatuh ke air seketika (dlm latihan diperagakan di kolam renang).
Untuk mengatasi panik di bawah air dengan posisi kepala di bawah, menghilangkan gelembung udara dan agar tidak kehilangan arah atau disorientasi, maka kita diwajibkan tahan nafas dan diam ditempat dengan menghitung dalam hati “seribu…, dua ribu…tiga ribu…empat ribu..dan lima ribu..” Setelah itu, ketika gelelmbung udara sudah tidak ada diatas kita dan kita tidak kehilangan arah untuk berenang ke atas permukaan air, barulah kita coba membuka pintu, atau jendela helikopter, selanjutnya setelah tangan kita menggapai pintu atau jendela, baru tangan kita yang lain membuka ’seat belt’ dan berenang keluar helikopter untuk penyelamatan.
Melakukan hal sederhana ini kelihatan gampang, namun penuh dengan tingkat stres yang tinggi. Bayangkan ketika di darat, pepala kita di atas semuanya terasa normal. Namun ketika helikopter dijatuhkan dan dibalik ke air dan kita dalam keadaan terbalik dengan „safety belt‟ masih terikat di badan….beberapa langkah teori tersebut di atas pasti jarang kita urutkan dengan
H.U.E.T (Helicopter Underwater Escape Training)
D-III Farmasi Poltekes TNI AU Page 9
sempurna. Panik…panik… dan panik lagi…..di tambah jika air sudah masuk ke dalam hidung akan terasa sampai ke kepala apalagi dijungkirkan terbalik di bawah badan kita…..suatu pengalaman yang mengasikkan dan sekaligus mendebarkan. Namun kita dituntut harus keluar dari helikopter dan mengapung di permukaan sebelum bantuan datang. Hal ini diulangi beberapa kali, mulai keluar dari jendela, kemudian diulangi lagi, keluar dari pintu dan terakhir keluar dari kaca depan yang dipecahkan. Suatu pengalaman yang tak terlupakan.
Beberapa catatan penting perlu diingat dalam penyelamatan diri ketika helikopter jatuh dilaut :
 Pertama; 92 % penumpang akan selamat jika mendapat informasi dan penjelasan dari pilot lebih kurang dari 1 menit terlebih dahulu. Kemudian 78 % akan selamat jika telah mendapatkan info dari captain kurang dari 11 detik.
 Kedua; usahakan menahan untuk tidak meminum air laut, karena air laut di dalam tubuh akan memperparah paru-paru kita dalam bernafas dan melemaskan keadaan tubuh lainnya. Ketiga; jangan langsung membuka ‟seat belt‟, saat helikopter jatuh, karena kemungkinan kita disorientasi dan ada barang-barang lain diatas kepala kita ketika pesawat terbalik di laut. Usahakan membuka ’seat belt’ sesudah tidak ada gelembung udara, tidak kehilangan arah dan sudah menemukan arah keluar pintu maupun jendela.
H.U.E.T (Helicopter Underwater Escape Training)
D-III Farmasi Poltekes TNI AU Page 10
BAB III
KESIMPULAN
Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA) adalah lembaga milik TNI Angkatan Udara (TNI-AU). Untuk menguji para penerbang, maupun kalangan yang nantinya akan berdinas atau bekerja ataupun bepergian di kawasan ketinggian ekstrem maupun antariksawan, mereka melakukan ILA atau Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi. Mereka menjalani uji rutin kesiapan fisiknya terhadap pengaruh-pengaruh gaya gravitasi, pengaruh kurangnya oksigen sampai penggunaan kursi lontar. Selain itu, mereka diuji dengan alat-alat yang dimiliki Lakespra antara lain Human Centrifuge, Basic Orientation Trainer, Night Vision Trainer, Osy Fault Trainer, Positivr-Pressure-Breathing, dan Ejection Seat Trainer.
HUET merupakan paket pendidikan & pelatihan prosedur pelepasan diri (escape) penerbang dan penumpang helikopter yang mengalami pendaratan darurat di laut/ danau. Teori dasar metode dan prosedur pelepasan diri dari helicopter cockpit/ cabin diajarkan di dalam ruang kelas yang ditunjang dengan perangkat CBT (Computer Based Training) dan disertai dengan peragaan serta praktek pelatihan sebenarnya yang dialami oleh siswa peserta pelatihan dengan memakai HMTS di kolam air.
Tujuan utama dilakukannya pelatihan HUET ini yaitu, untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan kepada Crew dan penumpang agar dapat melakukan dan menyelamatkan diri secara maksimal pada situasi keadaan darurat ketika helicopter terpaksa mendarat di air dan kemungkinan tenggelam.

Kamis, 21 Maret 2013

"Manusia?"

Manusia memang makhluk yang kompleks. Dalam kehidupan sehari-hari susah rasanya melihat siapa saja orang - orang disekeliling kita yang baik atau yang jahat. Ibarat suatu titrasi, bahwa titik ekuivalen yang dicapai dari terjadinya perubahan warna itu seolah abu - abu, hanya menghambur - hamburkan titran yang ada dalam buret. Sepetri itulah kebanyakan manusia menjalani hidupnya

Manusia itu benar - benar tidak setara. dari kebaikan, keburukan, kelebihan, kekurangan, kepintaran, kebodohan. Disini masalah yang terjadi adalah bagaimana kita sebagai seorang manusia yang utuh bisa keluar dalam garis atau lingkungan yang melambungkan kehidupan manusia menjadi tidak setara. Terkadang, lirikan dari sudut mata yang menyeret bahwa kita seharusnya tau tentang bagaimana melaksanakan prosedur kehidupan. Melaksanakan reaksi - reaksi yang hasilnya masih diambang tanda tanya.

Manusia bukan seperti sebuah obat, yang kebaikan dan kestabilan hidupnya bisa diukur secara kualitatif ataupun kuantitatif dalam ilmu fisika farmasi. Manusia itu dipelajari dengan ilmu sosial yang real dan tak bisa di duga. Okeh. Itulah manusia. Apapun alasan yang ada dibalik setiap kata yang terucap dari manusia. Manusia hanyalan Manusia yang tak mungkin sempurna. Karena manusia adalam makhluk Tuhan yang diciptakan untuk melengkapi kehidupan di dunia fana yang penuh rahasia. :)

Laporan Fisika Farmasi Tegangan Permukaan

LAPORAN FISIKA FARMASI
TEGANGAN PERMUKAAN
Senin, 04 MARET 2013
D-3 FARMASI POLITEKNIK KESEHATAN TNI AU CIUMBULEUIT BANDUNG
2013
Di Susun Oleh :
1. Devi Rahmayanti (30511010)
2. Elda Damayanti (30511016)
3. Hesti Apriyani (30511026)
4. Itjce Swenda Manalu (30511030)
5. Rimawati (30511044)
Dibawah Bimbingan :
1. Ratih Wigatiningsih, S. Farm., Apt
2. Eva Pahlani, S.Si.,Apt
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 1
I. Tujuan Praktikum
a. Menentukan tegangan permukaan air, gliserin, dan paraffin cair dengan menggunakan tensiometer Du nouy atau plate wihelmy.
b. Mengamati pengaruh surfaktan terhadap tegangan permukaan.
II. Dasar Teori
Tegangan permukaan zat cair merupakan kecenderungan permukaan zat cair untuk menegang, sehingga permukaannya seperti ditutupi oleh suatu lapisan elastic. Selain itu, tegangan permukaan juga diartikan sebagai suatu kemampuan atau kecenderungan zat cair untuk selalu menuju ke keadaan yang luas permukaannya lebih kecil yaitu permukaan datar atau bulat seperti bola atau ringkasnya didefinisikan sebagai usaha yang membentuk luas permukaan baru. Dengan sifat tersebut zat cair mampu untuk menahan benda-benda kecil di permukaannya. Seperti silet, berat silet menyebabkan permukaan zat cair sedikit melengkung ke bawah tampak silet itu berada. Lengkungan itu memperluas permukaan zat cair namun zat cair dengan tegangan permukaannya berusaha mempertahankan luas permukaan-nya sekecil mungkin.
Tegangan permukaan merupakan fenomena menarik yang terjadi pada zat cair (fluida) yang berada dalam keadaan diam (statis). Tegangan permukaan didefinisikan sebagai gaya F persatuan panjang L yang bekerja tegak lurus pada setia garis di permukaan fluida.
Permukaan fluida yang berada dalam keadaan tegang meliputi permukaan luar dan dalam (selaput cairan sangat tipis tapi masih jauh lebih besar dari ukuran satu molekul pembentuknya), sehingga untuk cincin dengan keliling L yang diangkat dari permukaan fluida dapat ditentukan dari pertambahan panjang pegas halus penggantung cincin (Dianometer) sehingga tegangan permukaan fluida memiliki nilai sebesar :
Dimana : = tegangan permukaan (N/m)
F = Gaya (Newton)
L = Panjang permukaan selaput fluida (m)
Tegangan antar muka adalah gaya persatuan panjang yang terdapat pada antarmuka dua fase cair yang tidak bercampur. Tegangan antar muka selalu lebih kecil dari pad tegangan
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 2
permukaan karena gaya adhesi antara dua cairan tidak bercampur lebih besar dari pada adhesi antara cairan dan udara. (Hamid.2010)
Ada beberapa metode dalam melakukan tegangan permukaan :
- Metode kenaikan kapiler
Tegangan permukaan diukur dengan melihat ketinggian air/ cairan yang naik melalui suatu kapiler. Metode kenaikan kapiler hanya dapat digunakan untuk mengukur tegangan permukaan tidak bisa untuk mengukur tegangan permukaan tidak bias untuk mengukur tegangan antar muka.
- Metode tersiometer Du-Nouy
Metode cincin Du-Nouy bisa digunakan utnuk mengukur tegangan permukaan ataupun tegangan antar muka. Prinsip dari alat ini adalah gaya yang diperlukan untuk melepaskan suatu cincin platina iridium yang diperlukan sebanding dengan tegangan permukaan atau tegangan antar muka dari cairan tersebut.
Pada dasarnya tegangan permukaan suatu zat cair dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya suhu dan zat terlarut. Dimana keberadaan zat terlarut dalam suatu cairan akan mempengaruhi besarnya tegangan permukaan terutama molekul zat yang berada pada permukaan cairan berbentuk lapisan monomolecular yang disebut dngan molekul surfaktan.
Faktor-faktor yang menpengaruhi :
- Suhu
Tegangan permukaan menurun dengan meningkatnya suhu, karena meningkatnya energy kinetik molekul.
- Zat terlarut (solute)
Keberadaan zat terlarut dalam suatu cairan akan mempengaruhi tegangan permukaan. Penambahan zat terlarut akan meningkatkan viskositas larutan, sehingga tegangan permukaan akan bertambah besar. Tetapi apabila zat yang berada dipermukaan cairan membentuk lapisan monomolecular, maka akan menurunkan tegangan permukaan, zat tersebut biasa disebut dengan surfaktan.
- Surfaktan
Surfaktan (surface active agents), zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan atau antar muka. Surfaktan mempunyai orientasi yang jelas sehingga cenderung pada rantai lurus. Sabun merupakan salah satu contoh dari surfaktan.
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 3
III. Alat dan Bahan
3.1 Alat yang digunakan
NAMA ALAT
GAMBAR
Beaker Glass
Cawan Petri
Kompor Listrik
Gelas Ukur 100 mL
Objeck Glass
Jangka Sorong
Batang Pengaduk & Spatel Logam
Tensiometer Du Nouy
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 4
3.2 Bahan
1. Aquadest
2. Gliserin
3. Paraffin Liquid
4. Tween 80
IV. Prosedur Kerja
1. Mengukur Tegangan Permukaan Aquadest dan Gliserin
Ukur panjang dan lebar dari lempeng kaca yang digunakan
Isi masing – masing cawan petri dengan aquadest dan gliserin
Tetapkan jarum skala pada angka 0, kenakan lempengan kaca pada cairan yg terdapat dalam cawan petri. Amati perubahan skala yang terjadi
Lakukan cara yang sama seperti diatas pada gliserin
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 5
2. Mengukur Tegangan Permukaan Parafin + Tween 80 dengan Konsentrasi 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, 5 %.
V. HASIL PERCOBAAN DAN PENGAMATAN
1. Tegangan Permukaan Aquadest dan Gliserin
Zat
Volume
Lempeng Kaca
Skala
Tegangan Permukaan
Rata – rata
Tegangan Permukaan
P
L
I
II
I
II
Aquadest
30 mL
7,35 cm
2,25 cm
0,7 dyne
0,7 dyne
0,03 dyne/cm
0,03 dyne/cm
0,03 dyne/cm
Gliserin
30 mL
7,35 cm
2,25 cm
0,5 dyne
0,5 dyne
0,02 dyne/cm
0,02 dyne/cm
0,02 dyne/cm
Timbang tween 80 1 % 300mg, Tween 80 2% 600 mg, Tween 80 3 % 900 mg, Tween 80 4% 1200 mg, Tween 80 5 % mg 1500 %. Masukan masing – masing tween 80 dalam cawan petri.
Tambahkan paraffin cair kedalam masing-masing cawan petri sebanyak 30 mL
Aduk campuran paraffin cair dan tween 80 pada masing- masing cawan petri
Tetapkan jarum skala pada angka nol, kenakan lempengan kaca pada cairan yg terdapat dalam cawan petri
Amati perubahan skala yang terjadi
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 6
2. Data Pengamatan Tegangan Permukaan Parafin cair dengan Tween 80
Konsentrasi
Bobot Zat
Volume Parafin cair
Lempeng Kaca
Skala
P
L
I
II
1 %
300 mg
30 mL
7,35 cm
2,25 cm
1,0 dyne
1,1dyne
2 %
600 mg
30mL
7,35 cm
2,25 cm
0,8 dyne
0,8 dyne
3 %
900 mg
30 mL
7,35 cm
2,25 cm
0,6 dyne
0,7 dyne
4 %
1200 mg
30 mL
7,35 cm
2,25 cm
0,5 dyne
0,5 dyne
5 %
1500 mg
30 mL
7,35 cm
2,25 cm
0,4 dyne
0,4 dyne
3. Tegangan Permukaan Parafin cair drngan Tween 80 dalam berbagai Konsentrasi
Zat
Tegangan Permukaan
Rata – rata
Tegangan Permukaan
I
II
Tween 80 1 %
0,05 dyne/cm
0,05 dyne/cm
0,05 dyne/cm
Tween 80 2%
0,04 dyne/cm
0,04 dyne/cm
0,04 dyne/cm
Tween 80 3%
0,03 dyne/cm
0,03 dyne/cm
0,03 dyne/cm
Tween 80 4%
0,02 dyne/cm
0,02 dyne/cm
0,02 dyne/cm
Tween 80 5%
0,02 dyne/cm
0,02 dyne/cm
0,02 dyne/cm
VI. Perhitungan – Perhitungan
1. Penimbangan Tween 80 dengan Parafin Cair 30 mL dalam berbagai Konsentrasi.
1. Pembuatan Tween 80 1 % = x 30 mL = 300 mg.
2. Pembuatan Tween 80 2 % = x 30 mL = 600 mg.
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 7
2. Perhitungan Tegangan Permukaan Aquadest dan Gliserin
3. Perhitungan Tegangan Permukaan Tween 80 1%
1. Tegangan Permukaan Aquadest
I. Aquadest = = = = 0,03 dyne / cm
3. Pembuatan Tween 80 3 % = x 30 mL = 900 mg.
4. Pembuatan Tween 80 4 % = x 30 mL = 1200 mg.
5. Pembuatan Tween 80 5 % = x 30 mL = 1500 mg.
II. Aquadest = = = = 0,03 dyne / cm
Rata-rata aquadeest = = 0,03 dyne/cm
2. Tegangan Permukaan Gliserin
I. Aquadest = = = = 0,02 dyne / cm
II. Aquadest = = = = 0,02 dyne / cm
Rata-rata aquadeest = = 0,02 dyne/cm
I. Tween 80 1% = = = = 0,05 dyne / cm
II. Tween 80 1% = = = = 0,05 dyne / cm
Rata-rata aquadeest = = 0,05 dyne/cm
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 8
4. Perhitungan Tegangan Permukaan Tween 80 2%
5. Perhitungan Tegangan Permukaan Tween 80 3%
6. Perhitungan Tegangan Permukaan Tween 80 4%
7. Perhitungan Tegangan Permukaan Tween 80 5%
I. Tween 80 2% = = = = 0,04 dyne / cm
II. Tween 80 2% = = = = 0,04 dyne / cm
Rata-rata Tween 80 2% = = 0,04 dyne/cm
I. Tween 80 3% = = = = 0,03 dyne / cm
II. Tween 80 3% = = = = 0,03 dyne / cm
Rata-rata Tween 80 3% = = 0,03 dyne/cm
I. Tween 80 4% = = = = 0,02 dyne / cm
II. Tween 80 4% = = = = 0,02 dyne / cm
Rata-rata Tween 80 4% = = 0,02 dyne/cm
I. Tween 80 5% = = = = 0,02 dyne / cm
II. Tween 80 5% = = = = 0,02 dyne / cm
Rata-rata Tween 80 5% = = 0,02 dyne/cm
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 9
VII. PEMBAHASAN
1. Tegangan Permukaan Air dan Gliserin
Tegangan permukaan merupakan tahanan atau gaya yang diperlukan oleh zat untuk mengimbangi gaya kohesi antar molekul zat dari gaya terhadap zat lain dipermukaan. Pada percobaan kali ini untuk setiap kelompok digunakan air dan gliserin untuk diuji tegangan permukaannya.
Grafik Rata-rata Keseluruhan Tegangan Permukaan Air dan Gliserin.
Setelah dilakukan percobaan, rata-rata tegangan permukaan air keseluruhan adalah 0,03 dyne/cm . Hal tersebut menunjukkan bahwa gaya yang bekerja antara air dan udara yang sejajar permukaan zat cair untuk mengimbangi gaya kohesi antara molekul air di bagian dalam adalah 0,03 dyne/cm.
Sedangkan pada gliserin rata-rata tegangan permukaan keseluruhan yang didapat adalah 0,02 dyne/cm. Tegangan permukaan gliserin ini menunjukkan bahwa gaya yang bekerja antara gliserin dan udara yang sejajar permukaan gliserin untuk mengimbangi gaya kohesi antara molekul gliserin di bagian dalam adalah 0,02 dyne/cm.
Berdasarkan literature tegangan permukaan air seharusnya lebih besar dari pada gliserin, karena berat jenis air lebih besar daripada gliserin. Air memiliki tegangan permukaan yang besar yang disebabkan oleh kuatnya sifat kohesi antar molekul-molekul air dibandingkan dengan gliserin. Pada permukaan air, bagian polarnya akan mengarah ke air, sedangkan bagian yang non polar akan mengarah ke udara. Hal tersebut menyebabkan gaya adhesi antara molekul
0,3
0,2
0
0,2
0,4
Air
Gliserin
Rata - rata Tegangan Permukaan Air dan Gliserin
Rata - rata
Tegangan
Permukaan Air
dan Gliserin
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 10
air dan udara semakin meningkat sehingga gaya yang diperlukan untuk melepaskan cincin yang tercelup kedalam zat cair semakin kecil.
Pada percobaan ini digunakan surfaktan yaitu tween 80 sebagai zat terlarut yang dilarutkan dalam paraffin cair dengan volume 30 mL dengan berbagai konsentrasi yang berbeda untuk setiap kelompok. Berikut grafik perbandingan nilai tegangan permukaan dari masing-masing kelompok antara paraffin dan tween 80 dengan konsentrasi yang telah ditentukan.
0,03
0,03
0,03
0,02
0,03
0
0,005
0,01
0,015
0,02
0,025
0,03
0,035
Paraffin +
Tween 80
0,1 %
Paraffin +
Tween 80
0,5 %
Paraffin +
Tween 80
1%
Paraffin +
Tween 80
1,5 %
Paraffin +
Tween 80 2
%
Tegangan Permukaan Parafin + Tween 80 Kelompok B2
Tegangan Permukaan
(dyne/cm)
0,05
0,04
0,03
0,02
0,02
0
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
Parafin +
Tween 80
1%
Parafin +
Tween 80
2%
Parafin +
Tween 80
3%
Parafin +
Tween 80
4%
Parafin +
Tween 80
5%
Tegangan Permukaan Parafin + Tween 80 Kelompok B3
Tegangan Permukaan
(dyne/cm)
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 11
Pada percobaan ini digunakan tween 80 dengan konsentrasi yang berbeda-beda, untuk kelompok kami (B3) yaitu digunakan konsentrasi tween 80 berturut-turut yaitu, 1%, 2%, 3%, 4%, sampai dengan konsentrasi 5%. Nilai tegangan permukaan yang kami peroleh dari percobaan dapat diketahui bahwa seiring dengan peningkatan konsentrasi tween 80 maka skala yang terbaca pada alat semakin kecil. Skala yang terbaca itu sebanding dengan gaya yang diperlukan untuk melepaskan cincin yang tercelup kedalam zat cair, maka semakin kecil skala yang terbaca pada alat, semakin kecil pula gaya yang dibutuhkan untuk melepaskan cincin yang tercelup kedalam zat cair. Nilai tegangan permukaan yang didapat seiring dengan peningkatan konsentrasi tween 80 yang ditambahkan semakin menurun, hal tersebut dapat terlihat pada grafik No.3 (kelompok B3). Namun, jika dilihat dari skala yang terbaca, ada satu skala yang penurunannya tidak mengikuti ritme berdasarkan kenaikan konsentrasi. Hal itu terlihat dari nilai tegangan permukaan pada konsentrasi 4 % dan 5% nilai keduanya sama yakni 0,02 dyne/cm.
Namun, hasil yang kelompok kami (B3) dapatkan masih cukup baik dibandingkan nilai dari kedua kelompok yang lain yakni B2 dab B5. Nilai tegangan permukaan yang diperoleh dari kedua kelompok tersebut (dapat dilihat pada grafik 1 dan 3) tidak sesuai dengan syarat pada literature yaitu semakin tinggi konsentrasi surfaktan (tween 80), maka semakin kecil tegangan permukaannya.
Penyimpangan nilai tegangan permukaan pada kelompok B2 dan B5 serta nilai tegangan permukaan kelompok kami yang pada konsentrasi 4% dan 5 % hasilnya sama dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya; penggunaan alat, pemutaran alat penunjuk skala tidak sepenuhnya tepat serta dipengaruhi oleh pengguna alat tersebut Sehingga hasil percobaan untuk kelompok B2
0,03
0,03
0,02
0,04
0,04
0
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
Parafin +
Tween 80
1,5%
Parafin +
Tween 80
3%
Parafin +
Tween 80
4,5%
Parafin +
Tween 80
6%
Parafin +
Tween 80
7,5%
Tegangan Permukann Parafin + Tween 80 Kelompok B5
Tegangan Permukaan
(dyne/cm)
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 12
dan B5 tidak sesuai dengan literature, yaitu semakin tinggi konsentrasi surfaktan, maka nilai tegangan permukaannya semakin menurun.
VIII KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai beriku :
1. Rata – rata tegangan permukaan ( ) air sebesar 0,03 dyne/cm
2. Rata – rata tegangan permukaan gliserin sebesar 0,02 dyne/cm
3. Rata – rata tegangan permukann dari Parafin + Tween 80 dengan konsentrasi sebagai berikut :
a) Parafin + Tween 80 1 % = 0,05 dyne/cm
b) Parafin + Tween 80 2 % = 0,04 dyne/cm
c) Parafin + Tween 80 3 % = 0,03 dyne/cm
d) Parafin + Tween 80 1 % = 0,02 dyne/cm
e) Parafin + Tween 80 1 % = 0,02 dyne/cm
4. Dari hasil nilai tegangan permukaan dapat diketahui bahwa, semakin besar konsentrasi tween 80 (surfaktan), maka nilai tegangan permukaan yang diperoleh semakin menurun.
[LAPORAN FISIKA FARMASI] Senin, 04 MARET 2013
[Type the company name] | 13
VIII DAFTAR PUSTAKA
http://riizky007.blogspot.com/2012/10/tegangan-permukaan.html Diakses 07 Maret 2013.
http://ogysogay.blogspot.com/2011/05/laporan-tegangan-permukaan.html Diakses 07 Maret 2013.
Wavega. 2009. Tegangan Permukaan, (Online), (http://wavega.wordpress.com/ 2009/08/07/tegangan-permukaan/, diakses 07 Maret 2013)
San. 2009. Tegangan Permukaan, (Online). (http://www.gurumuda.com/tegangan-permukaan/, diakses 07 Maret 2013)
Bandung, 07 Maret 2013
Praktikan
(Kelompok B3)

Laporan Fisika Farmasi Sistem Dispersi

LAPORAN RESMI KELOMPOK PRAKTIKUM FISIKA FARMASI
 SISTEM DISPERSI
SENIN, 11 MARET 2013
















D-3 FARMASI POLITEKNIK KESEHATAN
TNI AU CIUMBULEUIT BANDUNG
2013

    TUJUAN PRAKTIKUM
    Menentukan dispersibilitas suatu zat dalam pelarut air dengan penambahan cmc dalam berbagai konsentrasi.

    DASAR TEORI
A. Sistem Dispersi
Sistem terdispersi terdiri dari partikel-partikel kecil yang dikenal sebagaifase terdispersi yang terdistribusi secara merata keseluruh medium kontinu atau medium dispersi. Bahan-bahan yang terdispersi bisa saja memiliki ukuran partikel berdimensi atom atau molekul sampai partikel yang dapat diukur dengan satuan milimeter. Oleh karena itu, cara paling mudah untuk menggolongkan system dispersi adalah berdasarkan diameter dari partikel rata-rata dari bahan yang terdispersi. Umumnya, sistem dispersi digolongkan menjadi tiga, yaitu:
    Dispersi Molekular atau biasa disebut larutan
    Dispersi Koloidal
    Dispersi Kasar
B. Suspensi
Suspensi dapat didefinisikan sebagai preparat yang mengandung partikel obat yang terbagi secara halus disebarkansecara merata dalam pembawa obat dimana obat tersebut menunjukkan kelarutan yang sangat minimum. Beberapa suspense resmi diperdagangkan dalam bentuk siap pakai, ada juga yang tersedia dalam bentuk serbuk kering (dry syrup) untuk disuspensikan dalam cairan pembawa (umumnya berupa air), salah satu contohnya adalah suspensi antibiotika yang biasa ditemukan dalam bentuk drysyrup.
Terdapat banyak pertimbangan dalam pengembangan dan pembuatan suatu suspensi farmasetik yang baik. Di samping khasiat terapeutik, stabilitas kimia dari komponen-komponen formulasi, kelanggengan sediaan dan bentuk estetik dari sediaan. Ada sifat lain yang lebih spesifik untuk suspensi farmasi:
    Suatu suspensi farmasi yang dibuat dengan tepat mengendap secara lambat dan harus rata kembali bila dikocok.
    Karakteristik suspensi harus sedemikian rupa sehingga ukuran partikel dari suspensoid tetap agak konstan untuk yang lama pada penyimpanan.
    Suspensi harus bisa dituang dari wadah dengan cepat dan homogen.
Terdapat beberapa point yang dapat menjadi penilai kestabilan sediaan suspensi. Yaitu:
1. Volume sedimentasi
Adalah Suatu rasio dari volume sedimentasi akhir (Vu) terhadap volume mula-mula dari suspensi (Vo) sebelum mengendap.  Rumus F = Vu/Vo 
Bila F = 1 atau mendekati 1, maka sediaan baik karena tidak adanya supernatant jernih pada pendiaman
•      Bila F > 1 terjadi “floc” sangat longgar dan halus sehingga volume akhir lebih besar dari volume awal
•      Formulasi lebih baik jika dihasilkan kurva garis horisontal.
2. Derajat flokulasi.
Adalah Suatu rasio volume sedimentasi akhir dari suspensi flokulasi (Vu)terhadap volume sedimentasi akhir suspensi deflokulasi (Voc).
3. Metode reologi
Berhubungan dengan faktor sedimentasi dan redispersibilitas,membantu menemukan perilaku pengendapan, mengatur vehicle dan susunan partikel untuk tujuan perbandingan.
    Perubahan ukuran partikel
Digunakan cara Freeze-thaw cycling yaitu temperatur diturunkan sampaititikbeku, lalu dinaikkan sampai mencair kembali. Dengan cara ini dapat dilihat pertumbuhan kristal, yang pokok menjaga tidak terjadi perubahan ukuran partikel dan sifat kristal.
Secara umum sifat-sifat dari partikel flokulasi dan deflokulasi adalah :
    Deflokulasi :
Partikel suspensi dalam keadaan terpisah satu dengan yang lain.
Sedimentasi yang terjadi lambat masing - masing partikel mengendap terpisah dan ukuran partikel adalah minimal. Sedimen terbentuk lambat. Akhirnya sedimen akan membentuk cake yang keras dan sukar terdispersi lagi. Wujud suspensi menyenangkan karena zat tersuspensi dalam waktu relatif lama. Terlihat bahwa ada endapan dan cairan atas berkabut.
    Flokulasi :
Partikel merupakan agregat yang bebas. Sedimentasi terjadi cepat. Sedimen terbentuk cepat. Sedimen tidak membentuk cake yang keras dan padat dan mudah terdispersi kembali seperti semula. Wujud suspensi kurang menyenangkan sebab sedimentasi terjadi cepat dan diatasnya terjadi daerah cairan yang jernih dan nyata.
Monografi Bahan Uji Sistem Dispersi :
    NATRII CARBOXYMETHYLCELLULOSUM (Na-CMC)
Natrium Karboksi metil selulosa adalah garam natrium polikarboksimetil eter selulosa. Mengandung tidak kurang dari 6,5 % dan tidak lebih dari 9,5 % Na, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Kekentalan larutan 2 gram dalam 100 mL air, untuk zat yang mempunyai kekentalan 100 cP atau kurang, tidak kurang dari 80 % dan tidak lebih dari 120 % dari ketentuan yang tertera pada etiket; untuk zat yang mempunyai kekentalan lebih dari 100 cP, tidak kurang dari 75 % dan tidak lebih dari 140 % dari ketentuan yang tertera pada etiket.
Pemerian : Serbuk atau butiran; putih atau putih kuning gading; tidak berbau atau hampir tidak berbau; higroskopik.
Kelarutan : Mudah mendispersi dalam air, membentuk suspensi koloidal; tidak larut dalam etanol (95 %) P, dalam eter P dan dalam pelarut organik lain.
Penyimpanan : Wadah tertutup rapat.
Khasiat dan Penggunaan : Zat tambahan. (FI III 1979, Halaman 401)

    Parasetamol (Acetaminophen)
Asetaminofen mengandung tidak kuran dari 98,0% dan tidak lebihdari 101,0% C8H9NO2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Pemerian      : Hablur atau serbuk hablur putih; tidak berbau; rasa pahit.
Kelarutan         : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalm 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P; larut dalam larutan alkali hidroksida.
Khasiat         : Analgetikum ;Antipiretikum.
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat yang Digunakan
Nama Alat    Gambar    Nama Alat    Gambar
1. Mortir dan Stamper         2.Beaker Glass   
3.Spatel Logam         4.Pipet Tetes   
5.Gelas Ukur         6.Kompor Listrik   

3.2 Bahan yang Digunakan
1. Na-CMC
2. Paracetamol
3. Aquadest

VI. PROSEDUR
    Pembuatan Suspensi untuk Blangko















    Pembuatan Suspensi dengan campuran Paracetamol

















V. HASIL PENGAMATAN

5.1 Hasil Pengamatan Blanko CMC 3 %

Waktu    Volume Awal    Volume Akhir    F    Sedimentasi
0 menit    100 ml    100 ml    1    stabil
15 menit    100 ml    100 ml    1    Stabil
30 menit    100 ml    100 ml    1    Stabil
60 menit    100 ml    99 ml    0,99    Stabil
45 jam    100 ml    99 ml    0,99    Stabil

5.2 Hasil Pengamatan Blanko CMC 3,5%

Waktu    Volume Awal    Voluma Akhir    F    Sedimentasi
0 menit    100 ml    100 ml    1    Stabil
15 menit    100 ml    100 ml    1    Stabil
30 menit    100 ml    100 ml    1    Stabil
60 menit    100 ml    99 ml    0,99    Stabil
45 jam    100 ml    99 ml    0,99    Stabil

5.3 Hasil Pengamatan Paracetamol + CMC 3 %

Waktu    Volume Awal    Volume Akhir    F    Sedimentasi
0 menit    100 ml    100 ml    1    Stabil
15 menit    100 ml    100 ml    1    Stabil
30 menit    100 ml    99 ml    0,99    Stabil
36 menit    100 ml    98 ml    0,98    Stabil
45 jam    100 ml    98 ml    0,98    Stabil

5.4 Hasil Pengamatan Paracetamol + CMC 3,5%

Waktu    Volume Awal    Volume Akhir    F    Sedimentasi
0 menit    100 ml    100 ml    1    Stabil
15 menit    100 ml    100 ml    1    Stabil
30 menit    100 ml    99 ml    0,99    Stabil
38 menit    100 ml    99 ml    0,99    Stabil
45 jam    100 ml    98 ml    0,98    Stabil





     Data Volume Sedimentasi (F) Setiap Kelompok.

    Volume Sedimentasi (F) Kelompok B1

Waktu    Blanko CMC    PCT + CMC
    CMC 1,5 %    CMC 2,5 %    PCT + CMC 1,5 %    PCT + CMC 2,5%
0 menit    1    1    1    1
15 menit    1    1    1    1
30 menit    0,99    0,99    0,99    0,99
60 menit    0,98    0,98    0,97    0,98
45 jam    0,69    0,93    0,93    0,98

    Volume Sedimentasi (F) Kelompok B2
Waktu    Konsentrasi blanko CMC    PCT + CMC
    CMC 0,5 %    CMC 1 %    PCT + CMC 0,5 %    PCT + CMC 1%
0 menit    1    1    1    1
15 menit    1    0,99    0,99    1
30 menit    0,99    1    1    0,99
60 menit    0,99    0,99    1    1
45 jam    0,41    0,11    0,15    0,47

    Volume Sedimentasi (F) Kelompok B4

Waktu    Konsentrasi blanko CMC    PCT + CMC
    CMC 1 %    CMC 2 %    PCT + CMC 1%    PCT + CMC 2%
0 menit    1    1    1    1
15 menit    1    1    0,98    1
30 menit    0,99    1    0,98    0,995
60 menit    0,99    1    0,98    0,99
45 jam    0,39    0,89    0,49    0,94

    Volume Sedimentasi (F) Kelompok B5

Waktu    Konsentrasi blanko CMC    PCT + CMC
    CMC 2,5 %    CMC 3 %    PCT + CMC 2,5 %    PCT + CMC 3%
0 menit    1    1    1    1
15 menit    1    1    1    1
30 menit    0,99    0,99    0,99    1
60 menit    0,98    0,985    0,99    1
45 jam    0,38    0,98    0,99    0,99

VI. PERHITUNGAN - PERHITUNGAN

6.1 Penimbangan Bahan









6.2 Perhitungan Volume Sedimentasi (F)
Volume Sedimentasi (F) dapat diketahui dengan membagi Volume akhir suspense setelah terbentuk endapan (Vu) dengan volume awal setelah sebelum terbentuk endapan (V0).
Rumus : F = Vu/V0

























VII. PEMBAHASAN

Berdarkan hasil praktikum mengenai system disperse, dilakukan pengujian volume sedimentasi  pada suspense Paracetamol dengan zat pensuspensi CMC dengan variasi konsentrasi yang berbeda dari setiap kelompoknya. Didalam literature hasil pengujian volume sedimentasi (F) untuk semua sediaan baik blanko CMC maupun Paracetamol + CMC dengan variasi konsentrasi berbeda untuk evaluasi stabilitas fisik suspense, dijelaskan bahwa volume sedimentsi harus ± 1, karena jika tidak sediaan suspensi yang dibuat akan tidak stabil.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah kelompok B3 lakukan nilai dari volume sedimentasi dari sediaan yang bersuspending agent CMC dapat terlihat dalam kurva perbandingan volume sedimentasi antara blanko CMC 3 % dan CMC 3,5 % dengan suspense Paracetamol + CMC 3 % dan Paracetamol + CMC 3,5 %.
7.1 Kurva hasil pengamatan dimana Y = F (Volume sedimentasi), dan X = Waktu


    Dari kurva diatas, sedimentasi pada blanko CMC 3% dan blanko CMC 3,5% terbentuk pada pengamatan 60 menit dengan volume sedimentasi (F) sebesar 0,99. Setelah diamati selama 45 jam, volume sedimentasi tidak mengalami perubahan tetap pada 0,99.   Sedangkan pada suspense paracetamol + CMC 3 % dan suspense paracetamol + CMC 3,5% sedimentasi terbentuk pada pengamatan ke 30 menit dengan nilai yang sama sebesar 0,99. Namun, pada pengamatan selama 36 menit volume sedimentasi suspense paracetamol+CMC 3% berubah menjadi 0,98 tapi untuk suspense paracetamol + CMC 3,5% volume sedimentasi dimenit ke 38 belum ada perubahan. Akan tetapi, setelah kedua suspense diamati, volume sedimentasi (F) menunjukan nilai yang sama yakni sebesar 0,99.
Setelah keempat sediaan didiamkan selama 45 jam, kemudian dilakukan uji redispersibilitas dengan melakukan pengocokan sebanyak tiga kali. Setelah didiamkan kembali ternyata sedimen yang terbentuk dari keempat sediaan tersebut tidak membentuk cake dan mudah terdispersi kembali membentuk campuran homogennya. Selain itu, blanko CMC 3% dan blanko CMC 3,5%  ataupun suspense paracetamol + CMC 3% dan suspense paracetamol + CMC 3,5% menunjukan nilai F mendekati sama dengan 1. Artinya suspense paracetamol dengan konsentrasi CMC 3% dan suspense paracetamol dengan konstrasi  CMC 3,5% merupakan suspense yang baik (stabil).

7.2 Kurva Perbandingan Blanko CMC sebagai Zat Pensuspensi dengan berbagai variasi konsentrasi dari setiap kelompok.



7.3 Kurva Perbandingan Suspensi Paracetamol dengan Zat Pensuspensi CMC dalam variasi konsentrasi yang berbeda dari setiap kelompok.


Dari kurva dapat dilihat bahwa CMC merupakan salah satu zat pensuspensi yang baik, karena nilai volume sedimentasi dari semua konsentrasi mendekati sama dengan satu. Dari semua variasi konsentrasi CMC, suspense yang paling stabil terlihat pada blanko CMC 3,5 % dan PCT + CMC 3,5 %. Dimana setelah pengamatan selama 45 jam volume sedimentasi lebih baik (stabil) karena mendekati sama dengan 1.
Blanko CMC 3,5% dan Suspensi PCT + CMC 3,5% menjadi suspensi yang cukup baik diantara variasi konsentrasi yang di ujikan, hal ini disebabkan kadar konsentrasi pensuspensi yang lebih tinggi dibanding variasi konsentrasi lainnya. Walaupun begitu dalam literatur dijelaskan produk akan terlihat buruk jika F, volume sedimentasi tidak mendekati samadengan satu. Salah satu problem yang dihadapi dalam proses pembuatan suspensi adalah cara memperlambat penimbunan partikel serta menjaga homogenitas dari pertikel. Cara tersebut merupakan salah satu tindakan untuk menjaga stabilitas suspensi.

VIII. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum system disperse, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :




Penetapan Kadar Vitamin B1 (Tablet) secara Argentometri

Penetapan Kadar Tablet Vitamin B1 Secara Argentometri
PENETAPAN KADAR TABLET VITAMIN B1  SECARA ARGENTOMETRI
Laporan Praktikum Kimia Farmasi II







D-3 FARMASI POLITEKNIK KESEHATAN TNI AU CIUMBULEUIT
BANDUNG
I. PENDAHULUAN
1. Tujuan Praktikum
    Mengetahui normalitas AgNO3 dari hasil pembakuan menggunakan larutan NaCl 0,1 N.
    Mengetahui normalitas NH4SCN dari hasil pembakuan menggunakan larutan AgNO3.
    Menetapkan kadar Vitamin B1 dalam sediaan tablet dengan menggunakan pripsip reaksi pengendapan.
2. Prinsip Praktikum
    Prinsip pada percobaan argentometri adalah berdasarkan pada reaksi pengendapan zat yang dianalisa dengan larutan baku AgNO3 sebagai penitrasi dengan menggunakan metode Mohr dan metode Volhard.
    Prinsip percobaan pertama menggunakan Metode Mohr (pembentukan endapan berwarna) yang digunakan untuk menetapkan kadar klorida dan bromida dalam suasana netral dengan larutan standar AgNO3 dan penambahan K2CrO4 sebagai indikator. Reaksi yang terjadi antara larutan AgNO3 dan NaCl :
Ag(NO3)(aq)  +  NaCl(aq)            AgCl(s) (endapan putih) + NaNO3(aq)
Reaksi yang terjadi antara larutan AgNO3 dengan Indikator kromat.
2AgNO3 + CrO4         Ag2CrO4 (endapan merah bata) + 2NO3
    Prinsip percobaan kedua menggunakan metode volhard. Metode ini didasarkan atas pembentukan merah tiosianat dalam suasana asam nitrat , dengan ion besi (III) sebagai indikator untuk mengetahui adanya ion tiosianat berlebih. Reaksi yang terjadi sebagai berikut :       Fe3+  +  SCN-  ↔ Fe (SCN)3 (merah)

1.3 Dasar Teori
Istilah Argentometri diturunkan dari bahasa latin Argentum, yang berarti perak. Jadi, argentometri merupakan salah satu cara untuk menentukan kadar zat dalam suatu larutan yang dilakukan dengan titrasi berdasar pembentukan endapan dengan ion Ag+. Pada titrasi atgentometri, zat pemeriksaan yang telah dibubuhi indicator dicampur dengan larutan standar garam perak nitrat (AgNO3). Dengan mengukur volume larutan standar yang digunakan sehingga seluruh ion Ag+ dapat tepat diendapkan, kadar garam dalam larutan pemeriksaan dapat ditentukan (Underwood,1992).
Argentometri merupakan metode umum untuk menetapkan kadar halogenida dan senyawa-senyawa lain yang membentuk endapan dengan perak nitrat (AgNO3) pada suasana tertentu. Metode argentometri disebut juga dengan metode pengendapan karena pada argentometri memerlukan pembentukan senyawa yang relatif tidak larut atau endapan. Reaksi yang mendasari argentometri adalah : AgNO3 + Cl-    AgCl(s) + NO3-
1. Metode Mohr (pembentukan endapan berwarna)
Metode Mohr dapat digunakan untuk menetapkan kadar klorida dan bromida dalam suasana netral dengan larutan standar AgNO3 dan penambahan K2CrO4 sebagai indikator. Titrasi dengan cara ini harus dilakukan dalam suasana netral atau dengan sedikit alkalis, pH 6,5 – 9,0. Dalam suasana asam, perak kromat larut karena terbentuk dikromat dan dalam suasana basa akan terbentuk endapan perak hidroksida. Reaksi yang terjadi adalah :
Asam : 2CrO42- + 2H+ ↔ CrO + H2O
Basa : 2 Ag+ + 2 OH- ↔ 2 AgOH 2AgOH ↔ Ag2O + H2O
2. 2. Metode volhard
Metode ini digunakan dalam penentuan ion Cl+, Br -, dan I- dengan penambahan larutan standar AgNO3. Indikator yang dipakai adalah Fe3+ dengan titran NH4CNS, untuk menentralkan kadar garam perak dengan titrasi kembali setelah ditambah larutan standar berlebih. Kelebihan AgNO3 dititrasi dengan larutan standar KCNS, sedangkan indikator yang digunakan adalah ion Fe3+ dimana kelebihan larutan KCNS akan diikat oleh ion Fe3+ membentuk warna merah darah dari FeSCN.
Konsentrasi ion klorida, iodide, bromide dan yang lainnya dapat ditentukan dengan menggunakan larutan standar perak nitrat. Larutan perak nitrat ditambahkan secara berlebih kepada larutan analit dan kemudian kelebihan konsentrasi Ag+ dititrasi dengan menggunakan larutan standar (SCN-) dengan menggunakan indicator ion Fe3+. Ion besi (III) ini akan bereaksi  dengan ion tiosianat membentuk kompleks yang berwarna merah.
Reaksi yang terjadi adalah :
Ag+(aq) + Cl-(aq)      AgCl(s) (endapan putih)
Ag+(aq) + SCN-(aq)      AgSCN(s) (endapan putih)
Fe3+(aq) + 6SCN-(aq)  [Fe(SCN)6]3-  (kompleks berwarna merah)
3. Motode Fajans (Indikator Absorbsi)
Titrasi argenometri dengan cara fajans adalah sama seperti pada cara Mohr, hanya terdapat perbedaan pada jenis indikator yang digunakan. Indikator yang digunakan dalam cara ini adalah indikator absorbsi seperti cosine atau fluonescein menurut macam anion yang diendapkan oleh Ag+.
Titrannya adalah AgNO3 hingga suspensi violet menjadi merah. pH tergantung pada macam anion dan indikator yang dipakai. Indikator absorbsi adalah zat yang dapat diserap oleh permukaan endapan dan menyebabkan timbulnya warna. Pengendapan ini dapat diatur agar terjadi pada titik ekuivalen antara lain dengan memilih macam indikator yang dipakai dan pH. Sebelum titik ekuivalen tercapai, ion Cl- berada dalam lapisan primer dan setelah tercapai ekuivalen maka kelebihan sedikit AgNO3 menyebabkan ion Cl- akan digantikan oleh Ag+ sehingga ion Cl- akan berada pada lapisan sekunder. Reaksi yang terjadi sebagai berikut :
AgNO3(aq) + NaCl(aq)  AgCl(s) + NaNO3(aq)

    Tiamin Hidroklorida (Thiamini Hydrochloridum) atau vitamin B1
Rumus Molekul        : C12H17ClN4OS.HCl
Berat Molekul         : 337,27
Pemerian         : hablur kecil atau serbuk hablur, putih, bau khas lemah mirip ragi, rasa pahit. Kelarutan     : mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol (95%), praktis tidak larut dalam eter dan dalam benzen, larut dalam gliserol. Keasaman kebasaan pH larutan 1% b/v, 2,7-3,4.
Wadah dan penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya.
Vitamin B1, juga dikenal sebagai thiamin, adalah anggota dari vitamin B kompleks dan seperti semua dari mereka larut dalam air. Ini pertama kali diidentifikasi oleh dua dokter, Jansen dan Donath, jalan kembali pada tahun 1926 dan mereka menemukannya dalam residu tertinggal ketika alam gandum beras dipoles untuk membuatnya menjadi beras putih.
Makan makanan kaya vitamin C seperti buah-buahan dan sayuran pada saat yang sama sebagai sumber B1 dapat meningkatkan penyerapan dan seperti kebanyakan B1 vitamin B yang terbaik bila dikombinasikan dengan anggota lain dari grup.
Gejala awal kekurangan bahkan mungkin sedikit kelelahan, mual, kurang nafsu makan, gangguan pencernaan, kelemahan otot, kehilangan memori, kurang konsentrasi, depresi dan mudah tersinggung. Jika kekurangan tersebut tidak diperbaiki dengan suplemen atau perbaikan diet, sembelit, betis nyeri, kesemutan, rasa panas pada kaki dan kelemahan umum akan mengikuti.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan dalam titrasi pengendapan, diantaranya :
1)      Suhu.
2)      Sifat Pelarut.
3)      Ion Sejenis.
4)      Aktivitas Ion.
5)      pH.
6)      Hidrolisis.
7)      Hidroksida Logam.
8)      Pembentukan Senyawa Kompleks.





II. METODE
2.1 Alat yang digunakan
Nama Alat    Gambar    Nama Alat    Gambar
    Buret
    Statif
    Klep Penjepit         7. Pipet tetes dan kertas saring   
 
    Gelas ukur         8. Pipet volume   
    Gelas beaker         9. Corong kaca   
    Erlenmeyer         10. Labu Takar   

2.2 Bahan yang Digunakan
1. Larutan AgNO3 0,1 N        2. Indikator KCrO4         3. Indikator Fe3 Amm. Sulfat
4. Larutan NaCl 0,1 N            5. Larutan NH4CNS        6. Larutan HNO3 50%
7. Larutan HNO3 6 N            8. Tablet Vitamin B1         9. Aquadest.
2.3 Prosedur Kerja
1. Pembakuan Larutan AgNO3 0,1 N dengan menggunakan Larutan NaCl 0,1 N




2. Pembakuan Larutan NH4SCN dengan Menggunakan Larutan AgNO3




3. Penetapan kadar Vitamin B1 Tablet









2.4 Pembuatan Reagen
1. Pembuatan larutan NaCl 0,1 N
Tiap 1000 ml, mengandung 5,844 gram NaCl 0,1 N. Maka untuk membuat larutan NaCl 0,1 N sebanyak 50 ml diperlukan NaCl  : (50 ml)/(1000 ml) x 5,844 gram = 0,2922 gram/50 ml  292,2 mg.




2. Pembuatan Larutan AgNO3 0,1 N
Tiap 1000 ml, mengandung 16, 99 gram AgNO3 0,1 N.




3. Pembuatan Larutan NH4CNS 0,1 N
BE = Bm/V = (76,12 )/1 = 76, 16
0,1 N = gram/BE x (1000 )/V       0,1 N = gram/76,12  x 1000/(1000 ml) = 7,612 gram/1000 ml




4. Pembuatan Indikator KCrO4



5. Pembuatan Indikator Besi (III) Ammonium Sulfat
Untuk membuat 100 ml Indikator besi (III) Amm. Sulfat dibutuhkan 8,0 gram Besi (III) Amm. Sulfat.  Maka untuk membuat 500 ml Indikator Besi (III) Amm. Sulfat diperlukan 40,0 gram.



6. Pembuatan HNO3 50%
Untuk membuat HNO3 50% sebanyak 100 ml dibutuhkan 50 ml HNO3 50%



7. Pembuatan HNO3 6 N
Untuk membuat HNO3 6 dibutuhkan 81,6 mlHNO3 pekat untuk 200 ml.




III. DATA PENGAMATAN
3.1 Data Keseragaman Bobot Tablet Vitamin B1
No    Bobot Tablet        No    Bobot Tablet
1.    128,9 mg        11    127,9 mg
2    130,2 mg        12    128,1 mg
3    120,0 mg        13    126,8 mg
4    118,8 mg        14    130,3 mg
5    121,7 mg        15    132,1 mg
6    121,3 mg        16    126,5 mg
7    125,1 mg        17    125,9 mg
8    125,1 mg        18    129,5 mg
9    128,4 mg        19    128,3 mg
10    126,5 mg        20    130,3 mg

Bobot rata – rata tablet vitamin B1 = 2527,5/20 = 126,375 mg
Bobot sampel tablet vitamin B1 = (Rata-rata bobot tablet)/(berat isi /tablet) x Berat tablet vitamin B1 menurut FI
    = (126,375 mg)/(50 mg) x 100 mg = 252,75 mg


3.2  Data Penimbangan
Kertas     NH4SCN    AgNO3    Sampel I    Sampel II
Kertas kosong    -    -    97,7 mg    105,8 mg
Kertas + Isi    -    -    350,55 mg    359,15 mg
Kertas + Sisa    -    -    97,6 mg    106,3 mg
Bobot Sampel    16,99 gram    7,612 gram    252,95 mg    292,85 mg

3.3 Data Pembakuan AgNO3 0,1 N dengan NaCl 0,1 N
Replikasi    Bobot Penimbangan    Volume Titran
I    10,0 ml    10,4 ml
2    10,0 ml    9,8 ml

3.4 Data Pembakuan Larutan NH4SCN 0,1 N dengan AgNO3 yang telah dibakukan.
Replikasi    Bobot Penimbangan    Volume Titran
I    10,0 ml    10,0 ml
2    10,0 ml    10,1 ml

3.5 Data Penetapan Kadar Tablet Vitamin B1.
Replikasi    Bobot Penimbangan    Volume Titran
I    252,95 mg    4,9  ml
2    252,85 mg    4,3 ml


IV. PERHITUNGAN – PERHITUNGAN

4.1 Perhitungan Pembakuan AgNO3 0,1 N









4.2 Perhitungan Pembakuan NH4SCN 0,1 N










    4.3 Perhitungan Kadar Tablet Vitamin B1

























V. PEMBAHASAN

4.1 Pembakuan Larutan AgNO3 dengan Larutan NaCl 0,1N.
    Dalam praktikum penetapan kadar tablet vitamin B1 yang telah dilakukan, menggunakan titrasi argentometri metode Mohr untuk pembakuan AgNO3 menggunakan larutan baku NaCl. Metode Mohr ini dapat dilakukan dengan mempipet 10,0 ml NaCl yang ditambahkan dengan indikator Kalium Kromat dan dititrasi dengan larutan baku sekunder AgNO3 sampai terbentuk endapan merah.
    Penggunaan indikator kalium kromat berhubungan langsung dengan sifat kalium kromat yaitu indikator ini dibuat dengan kadar 5% (5 gr kalium kromat dalam 100 ml air) dan digunakan pada titrasi dengna metode Mohr. Indikator ini digunakan pada titrasi ion klorida pada suasana yang larutannya netral, dan pada waktu titik akhir tercapai akan memberikan endapan merah dari Ag2CrO4. Peristiwa ini merupakan suatu pengendapan bertingkat dari sepasang garam yang sedikit larut.
    Dalam titrasi metode Mohr akan terbentuk endapan AgCl sebagai dasar reaksi kimia dari titrasi ini. Endapan tersebut menandai titik akhir titrasi dengan bantuan indikator Kalium Kromat dan diperoleh normalitas rata-rata AgNO3 sebesar 0,0995 N. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut : AgNO3 + NaCl  ↓ AgCl

4.2 Pembakuan Larutan NH4SCN 0,1 N dengan AgNO3.
    Untuk pembakuaan larutan NH4SCN 0,1 N, metode yang dipakai untuk pembakuan Ammonium tiosianat ini adalah metode valhard. Yaitu digunakannya indikator Besi (III) Amm. Sulfat. Proses pembakuan NH4SCN dengan AgNO3 bertujuan untuk menentukkan normalitas  dari NH4SCN. Prosedur kerja yang dilakukan sama halnya dengan pembakuan AgNO3. Sebelum di titrasi larutan AgNO3 ditambah HNO3 6 N 5 mL dan indikator besi(III) ammonium sulfat sebanyak 1 mL.
Fungsi penambahan HNO3 disini ialah untuk menciptakan suasana asam, karena untuk titrasi metode valhard harus dilakukan dalam suasana asam, sebab ion besi(III) akan diendapkan menjadi Fe(OH)3 jika suasananya basa, sehingga titik akhirnya tidak dapat ditunjukkan karena pH larutan harus dibawah 3. Sedangkan indikator yang digunakan adalah ion Fe3+ karena kelebihan larutan NH4SCN akan diikat oleh ion Fe3+ membentuk warna merah darah dari FeSCN. Sebelum dititrasi larutan berwarna keruh. Pada awal penetesan NH4SCN, terjadi reaksi yang menimbulkan endapan AgCNS yang berwarna putih dengan persamaan reaksi :  NH4CNS(aq) + AgNO3(aq)   AgCNS(s)  +  NH4NO3(aq)
AgCNS yang dihasilkan berupa endapan putih, tetapi larutan masih bening. Setelah Ag+ dalam AgNO3 habis bereaksi maka sedikit kelebihan NH4CNS dalam sistem akan menyebabkan ion CNS- bereaksi dengan Fe3+ dari besi (III) ammonium sulfat membentuk [Fe(CNS)6]3- dengan reaksi :  Fe3+ + 6 CNS  [Fe(CNS)6]3-
Setelah terjadi perubahan warna kompleks Fe(CNS)63- yang memberikan warna merah bata, maka titrasi segera dihentikan. Pada percobaan,diperoleh rata-rata normalitas NH4SCN sebesar 0,0985 N.
4.3  Penetapan Kadar Tablet Vitamin B1
Penetapan kadar vitamin B1 dilakukan sebanyak dua kali replikasi. Pelarut yang digunakan adalah air, karena sifat vitamin B1 yang mudah larut dalam air. Titran yang digunakan adalah NH4SCN 0,1 N secara berlebih menggunakan indicator Besi (III) amm. Sulfat. Reaksi yang terjadi sebagai berikut :
Cl- + Ag+ ( berlebihan )        AgCl
Kelebihan ion perak dititrasi kembali dengan tiosianat :
Ag+ + SCN -         AgSCN
Penggunaan indicator :
Fe3+ + SCN -        (FeSCN)2+
Penetapan kadar vitamin B1 dengan metode Volhard harus dilakukan dalam suasana asam. Hal tersebut dilakukan jika suasananya basa maka akan terjadi reaksi antara perak nitrat dengan basa membentuk Ag ( OH ) yang pada tahap selanjutnya akan membentuk endapan putih Ag2O akibatnya perak nitrat tidak hanya bereaksi dengan sampel tetapi juga dengan basa.
Pemilihan indikator Fe ( III ) amonium sulfat berkaitan langsung dengan sifat indikator ini yang merupakan larutan jenuh ( kurang lebih 40 % ) ferri amonium sulfat dalam air dan ditambah beberapa tetes asam nitrat. Indikator ini digunakan dalam metode Volhard. Ferri amonium sulfat akan membentuk warna merah dari kompleks Fe ( III ) tiosianat dalam lingkungan asam nitrat 0,5 – 1,5 N. Perubahan warna terjadi 0,7 – 1 % sebelum titik akhir dalam titrasi ini.
Dari hasil penetapan kadar tablet vitamin B1 secara argentometri yang dilakukan sebanyak dua kali replikasi diperoleh kadar rata-rata tablet vitamin B1 sebesar 91,3885 %.












VI. KESIMPULAN

    Normalitas rata-rata AgNO3 yang diperoleh dari hasil pembakuan dengan larutan NaCl 0,1 N sebesar 0,0995 N.
    Normalitas rata-rata NH4SCN yang diperoleh dari hasil pembakuan dengan larutan AgNO3 sebesar 0,0985 N.
    Kadar rata-rata sampel tablet vitamin B1 yang dilakukan secara argentometri sebesar 91,3885%.


VII. DAFTAR PUSTAKA

Melalui media online yang diakses pada Selasa, 12 Maret 2013. :
http://id.scribd.com/doc/72873312/Argentometri
http://ellavioletta.blogspot.com/2012/12/laporan-resmi-argentometri-kimia_9550.html
http://sintas-shinta.blogspot.com/2012/04/titrasi-argentometri_1614.html
http://hellomyinterest.blogspot.com/2012/12/titrasi-argentometri-metode-volhard.html
Modul Praktikum Kimia Farmasi II. Poltekes TNI AU Bandung.2013.




LAMPIRAN - LAMPIRAN
    Gambar hasil titrasi pembakuan Larutan AgNO3

             




       


    Gambar Hasil titrasi Pembakuan Larutan NH4SCN

    Gambar Hasil Titrasi Penetapan Kadar Tablet Vitamin B1.
          

Laporan Fisika Farmasi RHEOLOGI

LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA FARMASI
REOLOGI
Senin, 25 February 2013



1.    TUJUAN PRAKTIKUM

    Menentukan viskositas emulsicampuran antara paraffin dan CMC dengan menggunakan metode viscometer Brookfield synchroelektrik dan metode bola jatuh.

2.    PRINSIP PERCOBAAN

    Berdasarkan pada penghambatan aliran cairan oleh sifat kekentalan (Viskositas) yang dimiliki cairan, dimana cairan yang memiliki kekentalan yang berbeda, maka kaan memiliki resistensi alir yang berbeda pula.

3.    DASAR TEORI
Viskositas adalah ukuran resistensi zat cair untuk mengalir. Makin besar resistensi suatu zat  cair  untuk  mengalir  semakin  besar  pula  viskositasnya.  Rheologi  adalah  ilmu  yang mempelajari sifat aliran zat cair atau deformasi zat padat. Viskositas mula-mula diselidiki oleh Newton, yaitu dengan mensimulasikan zat cair dalam bentuk tumpukan kartu seperti pada gambar berikut :
Zat cair diasumsikan terdiri dari lapisan-lapisan molekul yang sejajar satu sama lain.Lapisan terbawah tetap diam, sedangkan lapisan di atasnya bergerak dengan kecepatankonstan,sehingga setiap lapisan akan bergerak dengan kecepatan yang berbanding langsung denganjaraknya terhadap lapisan terbawah yang tetap. Perbedaan kecepatan dv antara dua lapisan yangdipisahkan dengan jarak dx adalah dv/dx atau kecepatan geser (rate of share). Sedangkan gayasatuan luas yang dibutuhkan untuk mengalirkanzat cair tersebut adalah F/A atau tekanan geser (shearing stress)
Menurut Newton :
F/A     =  dv/dx
F/A     = ηdv/dx
η          =  F/Adv/dx
η          = koefisien viskositas, satuan Poise
Viskositas suatu zat dipengaruhi oleh suhu. Viskositas gas meningkat dengan bertambah tingginya suhu, sedangkan viskositas zat cair menurun denganmeningginya suhu. Hubungan antara viskositas dengan suhu tampak pada persamaan Arrhenius :
A         : konstanta yang tergantung pada berat molekul dan volume molar zat cair
Ev        : energi aktivasi
R         : konstanta gas
T          : suhu mutlak
Hampir seluruh sistem dispersi termasuk sediaan-sediaan farmasi yang berbentuk emulsi,suspense, dan sediaan setengah padat tidak mengikuti hukum Newton. Viskosita cairan semacamini bervariasi pada setiap kecepatan geser, sehingga untuk mengetahui sifat alirannya dilakukan pengukuran pada beberapa kecepatan geser. Untuk menentukan viskositasnya diper-gunakan viscometer rotasi Stormer.          
Berdasarkan grafik sifat alirannya (rheogram), cairan non Newton terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
1. Cairan yang sifat alirannya tidak dipengaruhi waktu.Kelompok ini terbagi atas tiga jenis, yakni :
a) Aliran plastik
b) Aliran pseudoplastik
c) Aliran dilatan
2. Cairan yang sifat alirannya dipengaruhi oleh waktu.
Kelompok ini terbagi atas tiga jenis, yakni :
a) Tiksotropik
b) Antitiksotropik
c) Rheopeksi
Peralatan yang digunakan untuk mengukur viskositas dan rheologi suatu zat cair disebut viskometer. Ada dua jenis viskometer, yaitu :


1.      Viskosimeter Satu Titik
Viskosimeter ini bekerja pada titik kecepatan geser, sehingga hanya dihasilkan satu titik pada rheogram. Ekstrapolasi dari titik tersebut ke titik nol akan menghasilkan garislurus. Alat ini hanya dapat digunakan untuk menentukan viskositas cairan Newton.Yang termasuk dalam jenis ini misalnya viskosimeter kapiler, bola jatuh, penetrometer, plastometer ,dll.
2.      Viskosimeter Banyak Titik
Dengan viskosimeter ini dapat dilakukan pengukuran pada beberapa harga kecepatangeser sehingga diperoleh rheogram yang sempurna. Viskosimeter jenis ini dapat jugadigunakan baik untuk menentukan viskositas dan rheologi cairan Newton maupun nonNewton. Yang termasuk ke dalam jenis viskosimeter ini adalah viskosimeter rotasi tipe Stormer, Brookfield, Rotovico, dll.
Cairan yang mengikuti hukum Newton, viskositasnya tetap pada suhu dan tekanan tertentu dan tidak tergantung pada kecepatan geser. Oleh karena itu, vis-kositanya cukup ditentukan pada satu kecepatan geser. Viskometer yang dapat dipergunakan untuk keperluan itu adalah viskometer kapiler atau bola jatuh.  Apabila digambarkan antara kecepatan geser terhadap tekanan geser, maka diperoleh grafik garis lurus melalui titik nol. Contoh cairan Newton adalah minyak jarak, kloroform, gliserin, minyak zaitun, dan air.
Viskometer  bola  jatuh  merupakan  viskosimeter  satu  titik  yang  digunakan  untuk menentukan viskosita cairan newton. Viskosimeter ini bekerja pada satu titik kecepatan geser, sehingga hanya dihasilkan satu titik pada rheogram. Pada viskometer ini sampel  dan  bola  diletakkan  dalam  tabung   gelas  dan  dibiarkan  mencapai  temperatur keseimbangan dengan air yang berada dalam jaket di sekelilingnya pada temperatur konstan. Tabung dan jaket air tersebut kemudian dibalik, yang akan menyebabkan bola berada padapuncak tabung gelas dalam. Waktu bagi bola tersebut untuk jatuh antara dua tanda diukur dengan teliti dan diulangi beberapa kali.
Prinsip kerja dari  viskometer bola jatuh adalah mengukur kecepatan bola jatuh melalui cairan dalam tabung pada suhu tetap. Viskometer Hoeppler, merupakan alat yang ada dalam perdagangan berdasarkan pada prinsip ini.  Pada viskosimeter Hoeppler tabungnya dipasang miring sehingga kecepatan bola jatuh akan berkurang sehingga pengukuran dapat dilakukan lebih teliti. Viskometer ini cocok digunakan untuk cairan yang mempunyai viskositas yang sukar diukur dengan viskosimeter kapiler.
Viskometer kapiler / Ostwald
Viskositas dari cairan yang ditentukan dengan mengukur waktu yang dibutuhkan bagi cairan tersebut untuk lewat antara 2 tanda ketika mengalir karena gravitasi melalui viskometer Ostwald. Waktu alir dari cairan yang diuji dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan bagi suatu zat yang viskositasnya sudah diketahui (biasanya air) untuk lewat 2 tanda tersebut (Moechtar,1990).
4. BAHAN DAN ALAT
4.1 Bahan yang digunakan

1.    CMC Na 0,25% dan CMC Na 1 %
2.    Castor Oil
3.    Parafin Liquid
4.    Vaselin Album
5.    PVP 1 %
6.    Aquadest Panas
7.    Air
8.    Alcohol
4.2 Alat yang digunakan
Nama Alat    Gambar Alat        Nama Alat    Gambar
Mortir dan Stamper             Viskometer Brookfield   
Kelereng             Stopwach   
Gelas Ukur             Viskometer Ostwald   
Spatula Logam             Piknometer   
Gelas Beaker             Pipet tetes   


5. PROSEDUR KERJA
a. Membuat Larutan Uji




a. Mengukur viskositas paraffin liquidum dengan metode bola jatuh









b. Mengukur viskositas emulsi (Na CMC, PVP,  Paraffin dan Vaselin Album) dengan metode Brookfield
•    Na CMC dan PVP












•    Paraffin dan Vaselin Album









•    Mengukur Waktu dengan metode Viscometer Ostwald
a.    Menentukan bobot jenis :
1. timbang piknometer kosong (a)
2. isi piknometer kosong dengan air, lalu ditimbang (b)
3. hitung bobot air (b-a)
4. lakukan hal yang sama dari no. 1 sampai 3 untuk piknometer dengan cairan sampel (alkohol)
5. catat hasilnya
b.    Menentukan viskositas :







6. DATA PENGAMATAN
1. Tabel Data Pengukuran Viskositas dengan Metode Bola Jatuh pada  zat  Parafin Liquid.
Berat Kelereng    Volume Awal (Vo)    Volume Akhir (Vt)    Selisih Volume    Waktu
5,74 gr    30,0 ml    33,0 ml    3,0 ml    00:80 dt
5,32 gr    30,0 ml    33,0 ml    3,0 ml    00:48 dt
5,74 gr    30,0 ml    33,0 ml    3,0 ml    00:44 dt
Rata - rata    3,0 ml    00 : 57 dt

2.  Tabel Data Pengukuran Viskositas dengan Menggunakan Viskometer Brookfield
Zat    Spindel    Kecepatan    Volome    Skala    Koefisien    Viskositas
CMC Na 0,25%    62    6 rpm    300 ml    2    50    100 cP
CMC Na 1%    62    6 rpm    150 ml    10    50    500 cP
PVP 1%    62    6 rpm    150 ml    4    50    200 cP
Paravin    61    6 rpm    250 ml    2    10    20 cP
Vaselin Album    64    6 rpm    150 ml    22    1000    22000 cP

3. Tabel Data Pengukuran Viskositas dengan Menggunakan Viskometer Ostwald
Sampel    Kerapatan Partikel    Waktu    Viskositas
Air    0,366 gr/ ml    05:00 dt    1,83 cP
alkohol    0,3405 gr/ ml    05:04 dt    1.71 cP


7.  PERHITUNGAN
A. Pembuatan Larutan Uji














B.   Perhitungan Viskositas dengan Menggunakan Viskometer Brookfield












C. Perhitungan Viskositas dengan Menggunakan Viskometer Ostwald





















D. Perhitungan Viskositas






8.  PEMBAHASAN
Pada praktikum Reologi kali ini, pertama dilakukan percobaan mengenai viskositas dari larutan Parafin dengan volume awal dari semua kelompok sama yakni 30,0 mL. Percobaan ini menggunakan alat viskometer bola jatuh yakni menggunakan kelereng. Viskometer ini digunakan untuk cairan yang mengikuti hukum Newton yaitu viskositasnya tetap pada suhu dan tekanan tertentu dan tidak bergantung pada kecepatan geser.  Berikut tabel hasil metode bola jatuh dari setiap kelompok :
Kelompok    Rata – rata Selisih Volume    Rata – rata Waktu
B2    2,6 mL    00 : 48 dt
B3    3,0 mL    00 :57 dt
B5    2,6 mL    00 : 25 dt
Rata – rata keseluruhan kelompok    2,7 mL    00 : 43 dt

Berdasarkan data yang diperoleh dari setiap kelompok sebanyak masing – masing kelompok melakukan tiga kali pengulangan diperoleh rata-rata keseluruhan selisih hasil volume akhir yakni sebesar  2,7 mL dan waktu rata – ratanya 00 : 43 detik.
Kemudian prosedur kedua dilakukan pengukuran viskositas dengan menggunakan metode Brookfield terhadat beberapa zat. Berikut grafik perbandingan nilai viskositas yang diperoleh berdasarkan percobaan yang kami lakukan:
Tabel hasil nilai viskositas masing – masing zat dari seitap kelompok
Zat    Nilai viskositas masing – masing kelompok    Rata – rata
Viskositas
    B2    B3    B5   
CMC Na 0,25%    300 cP    100 cP    500 cP    300 cP
CMC Na 1 %    500 cP    500 cP    875cP    625 cP
PVP 1 %    200 cP    200 cP    550 cP    316 cP
Parafin    150 cP    20 cP    40 cP    70 cP
Vaselin Album    22000 cP    22000 cP    22000 cP    22000 cP

    Berdasarkan perbandingan nilai viskositas pada tabel dan grafik diatas, dapat diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi viskositas suatu cairan atau larutan. Yang pertama yakni pengaruh kecepatan (rpm), dimana semakin tinggi nilai rpm maka nilai viskositasnya semakin besar. Namun pada percobaan ini, setiap kelompok memilih kecepatan yang sama untuk semua zat yakni 6 rpm. Yang kedua yakni, pengaruh spindel terhadap kecepatan putar. Semakin besar spindle yang digunakan, maka nilai viskositasnya pun akan semakin besar hal tersebut terlihat dari hasil rata-rata nilai viskositas semua kelompok dari vaselin album yang menggunakan spindle 64 yakni 22000 cP, hasil ini jauh lebih besar dibanding dengan rata-rata nilai viskositas CMC Na 0,25 % sebesar 300 cP , CMC Na 1 % sebesar 625 cP , PVP 1 % sebesar 316 cP, dimana ketiga zat tersebut menggunakan spindle 62, sedangkan nilai rata-rata viskositas Parafin liquid yang menggunakan spindle 61 nilai viskositasnya lebih kecil sebesar 70 cP.
    Percobaan berikutnya yakni mengukur viskositas menggunakan metode Oswald untuk membandingkan viskositas air dan alkohol. Pada Metode Ostwald yang diukur adalah waktu yang diperlukan oleh sejumlah tertentu cairan untuk mengalir melalui pipa kapiler dengan gaya yang disebabkan oleh berat cairan itu sendiri.
Berikut tabel hasil pengukuran viskositas menggunakan metode Ostwald dari seluruh kelompok:
Pengukuran    Air    Rata-rata
    B2    B3    B5   
Kerapatan    0,397 gr/mL    0,366 gr/mL    0,279 gr/mL    0,347 gr/mL
Waktu    05:71 dt    05:00 dt    06:19 dt    05 : 63 dt
Viskositas    2,268 cP    1,83 cP    1,72 cP    1,93 cP

Pengukuran    Alkohol    Rata-rata
    B2    B3    B5   
Kerapatan    0,396 gr/ml    0,3405 gr/mL    0,281 gr/mL    0,339 gr/ mL
Waktu    05:67 dt    05:04 dt    05:00 dt    05:23 dt
Viskositas    2,08 cP    1,71 cP    1,40 cP    1,73 cP

    Dari nilai rata – rata data tabel diatas yang diperoleh dari semua kelompok, diketahui bahwa  nilai rata- rata kerapatan  air sebesar 0,347 gr/mL dan  nilai rata-rata kerapatan alcohol  sebesar 0,339 gr/mL. Kerapatan rata – rata air dan alkohol menunjukan bahwa nilai kerapatan air lebih besar apabila dibandingkan dengan kerapatan alcohol. hal itu karena, massa air lebih besar daripada massa alcohol.
    Selain itu, hasil perhitungan kerapatan yang dilakukan dapat membuktikan bahwa semakin banyak waktu yang diperlukan oleh suatu cairan untuk mengalir, maka viskositas cairan tersebut semakin besar  pula. Terlihat dari hasil rata-rata viskositas air  pada tabel yakni 1,93 cP dengan rata – rata waktu 05 : 63 detik sedangkan alcohol nilai rata-rata viskositasnya sebesar 1,73 cP dengan  rata-rata waktu 05:23 detik. Hasil tersebut menunjukan bahwa waktu yang diperlukan oleh suatu cairan untuk mengalir sebanding atau berbanding lurus dengan viskositasnya.

9.    KESIMPULAN
    Selisih volume paraffin liquid  yang didapatkan dengan  menggunakan metode bola jatuh menghasilkan rata-rata selisih volume 3,0 mL dengan rata-rata waktu 00:57 detik.
    Rata-rata selisih volume paraffin dari semua kelompok, sebesar  2,7 mL dan waktu  rata – ratanya 00 : 43 detik.
    Nilai viskositas CMC Na 0,25% sebesar 100 cP, dan nilai rata-rata viskositas CMC Na 0,25% dari setiap kelompok sebesar 300 cP
    Nilai viskositas CMC Na 1% sebesar 500 cP, dan nilai rata-rata viskositas CMC Na 1% dari setiap kelompok sebesar 625 cP.
    Nilai viskositas PVP 1% sebesar 316 cP, dan nilai rata-rata viskositas PVP 1% dari setiap kelompok sebesar 316 cP.
    Nilai viskositas Paravin sebesar 20 cP, dan nilai rata-rata viskositas Paravin dari setiap kelompok sebesar 70 cP.
    Nilai rata-rata viskositas Vaselin Album sebesar 22000 cP.
     Nilai viskositas air sebesar 1,83 cP dengan waktu 5,0 dt, dan nilai viskositas rata-rata dari setiap kelompok yakni 1,93 cP dengan rata – rata waktu 05 : 63 detik
    Nilai viskositas alcohol sebesar 1,71 cP dengan waktu 5,4 dt, dan nilai viskositas rata-rata dari setiap kelompok yakni sebesar 1,73 cP dengan  rata-rata waktu 05:23 detik.   

10.    DAFTAR PUSTAKA
1.    http://itatrie.blogspot.com/2012/10/laporan-kimia-fisika-viskositas-zat-cair.html
2.    http://duniaanalitika.wordpress.com/2009/12/16/tehnik-penngukuran-viskositas/
3.    http://wenimandasari.blogspot.com/p/laporan-termokimia.html
4.    http://linus-seta.blogspot.com/2011/11/penentuan-viskositas-larutan-newton.html
5.    http://ogysogay.blogspot.com/2011/06/laporan-viskositas-dan-rheology.html
6.    Modul Praktikum Fisika Farmasi. 2013. Poltekes TNI AU Bandung.