Jumat, 15 Desember 2017

Ilmu Kesehatan Masyarakat *KUSTA*


BAB I
 PENDAHULUAN

Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat.
Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Di Indonesia, pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan (Puskesmas, sudah dilakukan sejak pelita I). Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia.
Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa penyakit mempunyai kedudukan yang khusus diantara penyakit-penyakit lain. Hal ini disebabkan oleh karena adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan.
Dari sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian leprophobia yang bermanifestasi sebagai rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan yang rasional. Terdapat kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah kesehatan ke masalah sosial.
Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seluruh lapisan masalah masyarakat karena dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter yang belum mempunyai pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut terhadap penyakit kusta. Selama masyarakat kita, terlebih lagi para dokter masih terlalu takut dan menjauhkan penderita kusta, sudah tentu hal ini akan merupakan hambatan terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat adanya phobia ini, maka tidak mengherankan apabila penderita diperlakukan secara tidak manusiawi di kalangan masyarakat.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Umum Penyakit Kusta
2.1. Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
2.2. Sejarah
Pendapat kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium Leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta bukan penyakit keturunan atau kutukan Tuhan.
2.3. Penyebaran Penyakit Kusta
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.
2.4. Penyebab Penyakit Kusta
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai microbakterium, dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan organism patogen (misalnya Microbacterium tubercolose, mycrobakterium leprae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion.

2.5. Epidemiologi Penyakit Kusta
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a)      Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b)      Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yang penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyakit terinfeksi lainnya. Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mocrobakterillm Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
ü  Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
ü  Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
ü  Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
ü  Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah
ü  Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat



2.6. Tanda dan Gejala Penyakit Kusta
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu:
ü  Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.
ü  Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
ü   Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
ü  Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit.
ü  Alis rambut rontok
ü  Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa)
Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :
ü  Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
ü  Anoreksia.
ü  Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
ü  Cephalgia.
ü  Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
ü  Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan hepatospleenomegali.
ü  Neuritis.
2.7. Diagnosa Penyakit Kusta
Menyatakan (mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta menimbulkan berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga atapun masyarakat disekitarnya). Bila ada keraguan-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita harus berada dibawah pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi :
a.       Klinis
b.      Bakteriologis
c.       Immunologis
d.      Hispatologis
Namun untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan ananese dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis. Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis yang khas. Tes-tes serologik bukan treponema untuk sifilis sering menghasilkan positif palsu pada lepra.
2.8. Bentuk-bentuk Penyakit Kusta
Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk, yakni bentuk leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh. Untuk ini menular karena kelainan kulitnya mengandung banyak kuman. Bentuk tuber koloid mempunyai kelainan pada jaringan syaraf, yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini tidak menular karena kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman. Diantara bentuk leproma dan tuber koloid ada bentuk peralihan yang bersifat tidak stabil dan mudah berubah-ubah.
WHO mengklasifikasikan kusta menjadi 2 berdasarkan atas adanya kuman ahan pada meneriksaan bakterioskopis untuk pemilihan rejimen MDT.
1.Kusta Pausibasilar (PB)Kusta dengan basil tahan asam (BTA) negatif pada sediaan hapus, yaitu : tipe I(Interminate), TT (Tuberculoid) dan BT (Borderline tuberculoid).
2.Kusta Multibasilar (MB)Kusta dengan BTA positf pada sediaan hapus, yaitu : BB (Borderline), BL (Borderlinelepromatous) dan LL (Lepromatosa).




2.9. Pengobatan Penyakit Kusta
Pengobatan kusta ditujukan untuk:
1.      Memutus mata rantai penularan.
2.      Menyembuhkan penyakit penderita.
3.      Mencegah terjadinya cacat pada penderita atau kecacatan lanjutan.
Pengobatan pasien kusta  di Indonesia dengan menggunakan multiobat (Multi Drug Therapy/MDT) sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen MDT (Obat Kombinasi) yang dianjurkan oleh WHO adalah:
·  Penderita Kusta Kering (PB)
Ø  Untuk pasien kusta tipe Pausi Basiler (PB) dengan lesi hanya satu maka menelan obat regimen PB selama 6 bulan.
Ø  Dan untuk pasien kusta tipe PB dengan lesi 2-5, lama pengobatan adalah selama 6-9 bulan. Regimen MDT untuk pasien kusta tipe PB terdiri atas obat Rifampicin dan DDS.
Ø  Pengobatan Bulanan: Hari Pertama (dosis yang diminum di depan petugas) 2 kapsul Rifampisin dan 1 tablet Dapsone.
Ø  Pengobatan harian: Hari ke 2 sampai hari ke 28 (dibawa pulang) 1 tablet Dapsone. Penderita akan memperoleh obat MDT dari Puskesmas sebanyak 6 Blister untuk diminum selama 6-9 bulan.
·  Penderita Kusta Basah (MB)
Ø  Regimen MDT untuk pasien kusta tipe MB terdiri atas Rifampicin, Lamprene dan DDS.  Setiap bulannya obat diminum selama 28 hari dan ditelan setiap hari. Pengobatan dengan regimen MDT untuk pasien kusta tersebut diberikan secara gratis di Puskesmas atau Rumah Sakit yang mengikuti program pemberantasan kusta Nasional.
Ø  Pengobatan Bulanan : Hari Pertama (Dosis yang diminum didepan petugas) 2 kapsul Rifampisin, 3 Kapsul Lampren, dan 1 tablet Dapsone
Ø  Pengobatan harian hari ke 2 sampai hari ke 28 :1 tablet Lampren dan 1 tablet Dapsone diminum setiap hari. Setiap penderita kusta type MB akan mendapatkan 12 blister obat MDT dari Puskesmas untuk diminum selama 12 bulan.
Pengobatan penyakit kusta dilakukan dengan Dapson sejak tahun 1952 di Indonesia, memperhatikan hasil yang cukup memuaskan, hanya saja pengobatan mono terapi ini sering mengakibatkan timbul masalah resistensi, hal ini disebabkan oleh karena :
  1. Dosis rendah pengobatan yang tidak teratur dan terputus akibat dari lepra reaksi.
  2. Waktu makan obat sangat lama sehingga membosankan, akibatnya penderita makan obat tidak teratur.
Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan Lamprine (B663), Rifamficin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit yang bersisik).
1.      Dapson
Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzimdihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologikuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan.
Dosis : Dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badanuntuk anak-anak.
Efek samping : Erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.
2.Rifampisin
Sifat dan Farmakologi : Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim danmerupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambatenzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya resistensi.
Dosis : Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-kira 99.9% dalam waktu beberapa hari.
Efek samping : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.
3.Klofazimin
Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanyadiduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta.
Dosis : 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari.Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipeI dan 2.
Efek samping : Hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeriabdomen, diare, anoreksia dan vomitus).
4.Etionamid dan Protionamid
Kedua obat ini merupakan anti tuberculosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta. Obat ini bekerja bakteriostatik, cepat menimbulkan resistensi, lebihtoksik, harganya mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi pada rejimen pengobatan kusta.
Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus :
1. Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara
teliti.
v  Semua bercak masih nampak.
v  Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan tangan.
v  Semua syaraf yang masih tebal.
v  Semua cacat yang masih ada.
2.    Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin semar).
3.    Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku register.
Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi
penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu :
1)      Pengobatan telah selesai.
2)      Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar janga sampai
luka.
3)      Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang untuk periksaan
ulang.
2.10. Pencegahan Penularan Penyakit Kusta
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur.
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa :
a)      Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b)      Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta
c)      Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d)     Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara
teratur
e)      Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik.
2.2   Masalah-Masalah Yang Ditimbulkan Akibat Penyakit Kusta
Seseorang yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan mengalami trauma psikis. Sebagai akibat dari trauma psikis yang dialami si penderita antara lain sebagai berikut :
1.      Dengan segera mencari pertolongan pengobatan.
2.      Mengulur-ulur waktu karena ketidaktahuan atau malu bahwa ia atau keluarganya menderita penyakit kusta.
3.      Menyembunyikan (mengasingkan) diri dari masyarakat sekelilingnya, termasuk keluarganya.
4.      Oleh karena berbagai masalah, pada akhirnya si penderita bersifat masa bodoh terhadap penyakitnya.
Sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas timbullah berbagai masalah antara
lain:
1. Masalah terhadap diri penderita kusta
Pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri, merasa tekan batin, takut terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut mengahadapi keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan mereka yang kurang wajar. Segan berobat karena malu, apatis, karena kecacatan tidak dapat mandiri sehingga beban bagi orang lain (jadi pengemis, gelandangan dsb).
2. Masalah Terhadap Keluarga.
Keluarga menjadi panik, berubah mencari pertolongan termasuk dukun dan pengobatan tradisional, keluarga merasa takut diasingkan oleh masyarat disekitarnya, berusaha menyembunyikan penderita agar tidak diketahui masyarakat disekitarnya, dan mengasingkan penderita dari keluarga karena takut ketularan.
3. Masalah Terhadap Masyarakat.
Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Sebagai akibat kurangnya pengetahuan/informasi tentang penyakit kusta, maka penderita sulit untuk diterima di tengah-terigah masyarakat, masyarakat menjauhi keluarga dari perideita, merasa takut dan menyingkirkannya. Masyarakat mendorong agar penderita dan keluarganya diasingkan.
2.3   Penanggulangan Penyakit Kusta
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak diderigar dimana-mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari :
1)      Metode pemberantasan dan pengobatan,
2)      Metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya
3)      Metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.



BAB III
KESIMPULAN
Dengan megetahui penyebab, penyebaran penyakit, dan pengobatannya maka tidaklah perlu timbul lepraphobia. Hal ini dapat dilihat dengan penting peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita dan keluarga serta masyarakat dimana dengan penyuluhan ini diharapkan penderita dapat berobat secara teratur, dan tidak perlu dijauhi oleh keluarga malahan keluarga sebagai pendukung proses penyembuhan serta masyarakat tidak perlu mempunyai rasa takut yang berlebihan. Penderita kusta sebagai manusia yang juga mendapat perlakuan secara manusia, jadi keluarga dan masyarakat tidak perlu mendorong untuk mengasingkan penderita kusta tersebut.
Keberhasilan pengobatan pasien kusta tergantung pada penemuan penyakit dan pengobatan secara dini, kepatuhan pasien kusta untuk berobat secara teratur, dukungan keluarga dan masyarakat sekitar, serta keterampilan petugas dalam upaya pencegahan kecacatan.
Dengan pengobatan segera dan pasien kusta menelan obat dengan teratur sampai tuntas, maka ia akan dinyatakan Release From Treatment (RTF/Sembuh). Dengan upaya deteksi dini kecacatan dan upaya-upaya pencegahan yang dilakukan oleh petugas yang merawat dan pasien kusta, maka diharapkan dapat mencegah dari kecacatan karena kusta.