BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan
penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang
sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang
dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah
psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat
berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut
akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena
masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna
sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan
kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat.
Program
pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit,
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih
lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional
kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih
tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud
bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya,
keamanan dan ketahanan sosial.
Pada
umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian
besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat
keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai
di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.
Di Indonesia, pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi
dengan unit pelayanan kesehatan (Puskesmas, sudah dilakukan sejak pelita I).
Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun
1992, pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia.
Dampak
sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan
keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada
keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku
penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita
masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, tidak
dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan
kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa
sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan
bahwa penyakit mempunyai kedudukan yang khusus diantara penyakit-penyakit lain.
Hal ini disebabkan oleh karena adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan
terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab penyakit
kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan.
Dari
sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian leprophobia
yang bermanifestasi sebagai rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa
alasan yang rasional. Terdapat kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih
dari masalah kesehatan ke masalah sosial.
Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seluruh lapisan
masalah masyarakat karena dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan
dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan
masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter yang belum mempunyai
pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut terhadap penyakit
kusta. Selama masyarakat kita, terlebih lagi para dokter masih terlalu takut
dan menjauhkan penderita kusta, sudah tentu hal ini akan merupakan hambatan
terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat adanya phobia ini, maka
tidak mengherankan apabila penderita diperlakukan secara tidak manusiawi di
kalangan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gambaran
Umum Penyakit Kusta
2.1. Definisi
Istilah
kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada
tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
2.2. Sejarah
Pendapat
kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(Mycobacterium Leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya. Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang sangat kompleks.
Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah
sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta bukan
penyakit keturunan atau kutukan Tuhan.
2.3. Penyebaran Penyakit Kusta
Penyakit
ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar
keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang,
penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan
kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini
dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia
diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang
datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.
2.4. Penyebab Penyakit Kusta
Penyakit
kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai microbakterium, dimana
microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang
yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi
oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan
asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan organism
patogen (misalnya Microbacterium tubercolose, mycrobakterium leprae) yang
menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion.
2.5. Epidemiologi Penyakit Kusta
Cara-cara
penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput
lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta
adalah:
a) Melalui sekret hidung, basil yang
berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat
hidup 2–7 x 24 jam.
b) Kontak kulit dengan kulit.
Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi
baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan
berulang-ulang.
Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini
bukanlah merupakan faktor yang penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di
terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya
penyakit-penyakit terinfeksi lainnya. Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit
orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra
terbuka. Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau
keganasan Mocrobakterillm Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu
faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
ü
Usia : Anak-anak lebih peka dari
pada orang dewasa
ü
Jenis kelamin : Laki-laki lebih
banyak dijangkiti
ü
Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih
banyak dijangkiti
ü
Kesadaran sosial :Umumnya
negara-negara endemis kusta adalah negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah
dengan tingkat sosial ekonomi rendah
ü
Lingkungan : Fisik, biologi, sosial,
yang kurang sehat
2.6. Tanda dan Gejala Penyakit Kusta
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung
dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan
disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh
masyarakat awam, yaitu:
ü
Adanya bercak tipis seperti panu
pada badan/tubuh manusia.
ü
Pada bercak putih ini pertamanya
hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
melebar dan banyak.
ü
Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf
ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang
kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
ü Adanya bintil-bintil kemerahan
(leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit.
ü Alis rambut rontok
ü Muka berbenjol-benjol dan tegang
yang disebut facies leomina (muka singa)
Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :
ü
Panas dari derajat yang rendah
sampai dengan menggigil.
ü Anoreksia.
ü Nausea, kadang-kadang disertai
vomitus.
ü Cephalgia.
ü
Kadang-kadang disertai iritasi,
Orchitis dan Pleuritis.
ü
Kadang-kadang disertai dengan
Nephrosia, Nepritis dan hepatospleenomegali.
ü Neuritis.
2.7. Diagnosa Penyakit Kusta
Menyatakan
(mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta menimbulkan berbagai masalah
baik bagi penderita, keluarga atapun masyarakat disekitarnya). Bila ada
keraguan-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita harus berada dibawah
pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa
penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi harus dilihat
secara menyeluruh dari segi :
a.
Klinis
b. Bakteriologis
c. Immunologis
d. Hispatologis
Namun
untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan ananese dan pemeriksaan klinis.
Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan
bakteriologis. Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung
bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas
dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal
memberikan gambaran histologis yang khas. Tes-tes serologik bukan treponema
untuk sifilis sering menghasilkan positif palsu pada lepra.
2.8. Bentuk-bentuk Penyakit Kusta
Penyakit
kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk, yakni bentuk leproma mempunyai
kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh. Untuk ini menular
karena kelainan kulitnya mengandung banyak kuman. Bentuk tuber koloid mempunyai
kelainan pada jaringan syaraf, yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini
tidak menular karena kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman. Diantara
bentuk leproma dan tuber koloid ada bentuk peralihan yang bersifat tidak stabil
dan mudah berubah-ubah.
WHO mengklasifikasikan kusta menjadi
2 berdasarkan atas adanya kuman ahan pada meneriksaan bakterioskopis untuk
pemilihan rejimen MDT.
1.Kusta Pausibasilar (PB)Kusta dengan basil tahan asam (BTA) negatif pada sediaan hapus, yaitu :
tipe I(Interminate), TT (Tuberculoid) dan BT (Borderline
tuberculoid).
2.Kusta Multibasilar (MB)Kusta dengan BTA positf pada sediaan hapus, yaitu : BB (Borderline), BL
(Borderlinelepromatous) dan LL (Lepromatosa).
2.9. Pengobatan Penyakit Kusta
Pengobatan kusta ditujukan untuk:
1.
Memutus mata rantai penularan.
2.
Menyembuhkan penyakit penderita.
3.
Mencegah
terjadinya cacat pada penderita atau kecacatan lanjutan.
Pengobatan pasien kusta di Indonesia
dengan menggunakan multiobat (Multi Drug Therapy/MDT) sesuai dengan regimen
pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen MDT (Obat Kombinasi) yang
dianjurkan oleh WHO adalah:
·
Penderita Kusta Kering (PB)
Ø Untuk pasien kusta tipe Pausi
Basiler (PB) dengan lesi hanya satu maka menelan obat regimen PB selama 6
bulan.
Ø Dan untuk pasien kusta tipe PB
dengan lesi 2-5, lama pengobatan adalah selama 6-9 bulan. Regimen MDT untuk
pasien kusta tipe PB terdiri atas obat Rifampicin dan DDS.
Ø Pengobatan Bulanan: Hari Pertama
(dosis yang diminum di depan petugas) 2 kapsul Rifampisin dan 1 tablet Dapsone.
Ø Pengobatan harian: Hari ke 2 sampai
hari ke 28 (dibawa pulang) 1 tablet Dapsone. Penderita akan memperoleh obat MDT
dari Puskesmas sebanyak 6 Blister untuk diminum selama 6-9 bulan.
· Penderita
Kusta Basah (MB)
Ø
Regimen MDT untuk pasien kusta tipe MB terdiri
atas Rifampicin, Lamprene dan DDS. Setiap bulannya obat diminum selama 28
hari dan ditelan setiap hari. Pengobatan dengan regimen MDT untuk pasien kusta
tersebut diberikan secara gratis di Puskesmas atau Rumah Sakit yang mengikuti
program pemberantasan kusta Nasional.
Ø
Pengobatan Bulanan : Hari Pertama (Dosis yang
diminum didepan petugas) 2 kapsul Rifampisin, 3 Kapsul Lampren, dan 1 tablet
Dapsone
Ø
Pengobatan harian hari ke 2 sampai hari ke 28 :1
tablet Lampren dan 1 tablet Dapsone diminum setiap hari. Setiap penderita kusta
type MB akan mendapatkan 12 blister obat MDT dari Puskesmas untuk diminum
selama 12 bulan.
Pengobatan
penyakit kusta dilakukan dengan Dapson sejak tahun 1952 di Indonesia,
memperhatikan hasil yang cukup memuaskan, hanya saja pengobatan mono terapi ini
sering mengakibatkan timbul masalah resistensi, hal ini disebabkan oleh karena
:
- Dosis rendah pengobatan yang tidak teratur dan
terputus akibat dari lepra reaksi.
- Waktu makan obat sangat lama sehingga
membosankan, akibatnya penderita makan obat tidak teratur.
Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita
kusta dapat menggunakan Lamprine (B663), Rifamficin, Prednison, Sulfat Feros
dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit yang bersisik).
1. Dapson
Sifat dan Farmakologi : Obat ini
bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzimdihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA.
Indeks morfologikuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya
menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan.
Dosis : Dosis tunggal yaitu 50-100
mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badanuntuk
anak-anak.
Efek samping : Erupsi obat,
anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek
samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.
2.Rifampisin
Sifat dan Farmakologi : Rifampisin
merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim danmerupakan obat paling ampuh
untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambatenzim polimerase RNA yang
berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan
telah dilaporkan adanya resistensi.
Dosis : Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB)
mampu membunuh kuman kira-kira 99.9% dalam waktu beberapa hari.
Efek samping : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal dan erupsi kulit.
3.Klofazimin
Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat
bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanyadiduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga
mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan
reaksi kusta.
Dosis : 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan
untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari.Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan
setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipeI dan 2.
Efek samping : Hanya terjadi pada dosis tinggi berupa
gangguan gastrointestinal (nyeriabdomen, diare, anoreksia dan vomitus).
4.Etionamid dan
Protionamid
Kedua
obat ini merupakan anti tuberculosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta.
Obat ini bekerja bakteriostatik, cepat menimbulkan resistensi, lebihtoksik,
harganya mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan
lagi pada rejimen pengobatan kusta.
Setelah
penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan
menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan
obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT,
petugas kesehatan harus :
1. Mengisi
dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara
teliti.
teliti.
v
Semua bercak masih nampak.
v
Kulit yang hilang atau kurang rasa
terutama ditelapak kaki dan tangan.
v Semua syaraf yang masih tebal.
v Semua cacat yang masih ada.
2. Mengambil skin semar (sesudah skin
semarnya diambil maka penderita langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu
hasil skin semar).
3. Mencatat data tingkat cacat dan
hasil pemeriksaan skin semar dibuku register.
Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus
memberi
penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu :
penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu :
1) Pengobatan telah selesai.
2) Penderita harus memelihara tangan
dan kaki dengan baik agar janga sampai
luka.
luka.
3)
Bila ada tanda-tanda baru, penderita
harus segera datang untuk periksaan
ulang.
ulang.
2.10. Pencegahan Penularan Penyakit Kusta
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit
kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh
bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan
yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat
dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan
penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk
berobat secara teratur.
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan
salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh
manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini
tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca
makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari
masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada
beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat
menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh
kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting
sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang,
materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan
pengajaran bahwa :
a)
Ada obat yang dapat menyembuhkan
penyakit kusta
b)
Sekurang-kurangnya 80 % dari semua
orang tidak mungkin terkena kusta
c)
Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah
menular pada orang lain
d)
Kasus-kasus menular tidak akan menular
setelah diobati kira-kira 6 bulan secara
teratur
teratur
e)
Diagnosa dan pengobatan dini dapat
mencegah sebagian besar cacat fisik.
2.2 Masalah-Masalah
Yang Ditimbulkan Akibat Penyakit Kusta
Seseorang
yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan mengalami trauma psikis.
Sebagai akibat dari trauma psikis yang dialami si penderita antara lain sebagai
berikut :
1.
Dengan
segera mencari pertolongan pengobatan.
2.
Mengulur-ulur
waktu karena ketidaktahuan atau malu bahwa ia atau keluarganya menderita
penyakit kusta.
3.
Menyembunyikan
(mengasingkan) diri dari masyarakat sekelilingnya, termasuk keluarganya.
4.
Oleh
karena berbagai masalah, pada akhirnya si penderita bersifat masa bodoh
terhadap penyakitnya.
Sebagai akibat dari hal-hal
tersebut diatas timbullah berbagai masalah antara
lain:
1. Masalah terhadap diri penderita kusta
lain:
1. Masalah terhadap diri penderita kusta
Pada
umumnya penderita kusta merasa rendah diri, merasa tekan batin, takut terhadap
penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut mengahadapi keluarga dan masyarakat
karena sikap penerimaan mereka yang kurang wajar. Segan berobat karena malu,
apatis, karena kecacatan tidak dapat mandiri sehingga beban bagi orang lain
(jadi pengemis, gelandangan dsb).
2. Masalah Terhadap Keluarga.
Keluarga
menjadi panik, berubah mencari pertolongan termasuk dukun dan pengobatan
tradisional, keluarga merasa takut diasingkan oleh masyarat disekitarnya,
berusaha menyembunyikan penderita agar tidak diketahui masyarakat disekitarnya,
dan mengasingkan penderita dari keluarga karena takut ketularan.
3. Masalah Terhadap Masyarakat.
Pada
umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan agama,
sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular, tidak
dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan
kecacatan. Sebagai akibat kurangnya pengetahuan/informasi tentang penyakit
kusta, maka penderita sulit untuk diterima di tengah-terigah masyarakat,
masyarakat menjauhi keluarga dari perideita, merasa takut dan menyingkirkannya.
Masyarakat mendorong agar penderita dan keluarganya diasingkan.
2.3 Penanggulangan
Penyakit Kusta
Penanggulangan
penyakit kusta telah banyak diderigar dimana-mana dengan maksud mengembalikan
penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya
diri. Metode
penanggulangan ini terdiri dari :
1) Metode
pemberantasan dan pengobatan,
2)
Metode
rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial,
rehabilitasi karya
3) Metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari
rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada
kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan suatu
sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
BAB III
KESIMPULAN
Dengan megetahui penyebab, penyebaran
penyakit, dan pengobatannya maka tidaklah perlu timbul lepraphobia. Hal ini
dapat dilihat dengan penting peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita dan
keluarga serta masyarakat dimana dengan penyuluhan ini diharapkan penderita
dapat berobat secara teratur, dan tidak perlu dijauhi oleh keluarga malahan
keluarga sebagai pendukung proses penyembuhan serta masyarakat tidak perlu
mempunyai rasa takut yang berlebihan. Penderita kusta sebagai manusia yang juga
mendapat perlakuan secara manusia, jadi keluarga dan masyarakat tidak perlu
mendorong untuk mengasingkan penderita kusta tersebut.
Keberhasilan
pengobatan pasien kusta tergantung pada penemuan penyakit dan pengobatan secara
dini, kepatuhan pasien kusta untuk berobat secara teratur, dukungan keluarga
dan masyarakat sekitar, serta keterampilan petugas dalam upaya pencegahan
kecacatan.
Dengan
pengobatan segera dan pasien kusta menelan obat dengan teratur sampai tuntas,
maka ia akan dinyatakan Release From Treatment (RTF/Sembuh). Dengan upaya
deteksi dini kecacatan dan upaya-upaya pencegahan yang dilakukan oleh petugas
yang merawat dan pasien kusta, maka diharapkan dapat mencegah dari kecacatan
karena kusta.