Minggu, 22 Juni 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.                Tinjauan Tentang Manggis (Garcinia mangostana Linn.)
1.         Klasifikasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana Linn.)
Kingdom      :  Plantae
Divisio          :  Spermatophyta
Subdivisio    :  Angiospermae
Kelas             :   Magnoliopsida
Subkelas      :   Dilleniidae
Ordo             :  Theales
Famili            :   Clusiaceae (Guttiferae)
Genus           :   Garcinia
Spesies          :   Garcinia mangostana Linn. (wordpress, 2011).
Gambar 2.1 Manggis (Garcinia mangostana Linn.) (www.camsh.com).


2.         Nama Daerah
Di Indonesia manggis disebut dengan berbagai macam nama local seperti Manggu (Jawa Barat), Manggus (Lampung), Manggusto (Sulawesi Utara), Manggista (Sumatera Barat), Mangih (Minangkabau), Mangustang (Halmahera), Manggis (Jawa) (wordpress.com, 2011).
3.         Morfologi
Manggis merupakan tanaman tahunan yang masa hidupnya dapat mencapai puluhan tahun. Pohon manggis selalu hijau dengan tinggi 6-20 meter. Manggis mempunyai batang tegak, batang pohon jelas, kulit batang coklat, dan memiliki getah kuning. Daun manggis tunggal, duduk daun berhadapan atau bersilang berhadapan. Manggis mempunyai bunga betina 1-3 di ujung batang, susunan menggarpu, dan garis tengah 5-6 cm. kelopak daun manggis dengan dua daun kelopak terluar hijau kuning, dua yang terdalam lebih kecil, bertepi merah, melengkung kuat, tumpul. Manggis mempunyai 4 daun mahkota, bentuk telur terbalik, berdaging tebal, hijau kuning, tepi merah atau hampir semua merah. Benang sari mandul (staminodia) biasanya dalam tukal (kelopak). Bakal buah be-ruang 4-8, kepala putik berjari-jari 5-6. Buah manggis berbentuk bola tertekan, garis tengah 3,5-7 cm, ungu tua, dengan kepala putik duduk (tetap), kelopak tetap, dinding buah tebal, berdaging, ungu, dengan getah kuning. Biji 1-3, diselimuti oleh selaput biji yang tebal berair, putih, dapat dimakan (termasuk biji yang gagal tumbuh sempurna). Manggis mempunyai waktu berbunga antara bula Mei – Januari (Rukmana, 1995).
4.         Unsur Kimia
Ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana Linn) mengandung senyawa metabolit sekunder berupa alkaloid, saponin, triterpenoid, tanin, fenolik, flavonoid, glikosida dan steroid. Metabolit sekunder utama dari kulit buah manggis adalah inti xanthone. Senyawa utama dari xanthone adalah α-mangostin dan γ-mangostin (Jung et al., 2006). Pada kulit buah manggis mengandung senyawa lain diantaranya mangostenol, mangostinon, trapezifolixanton, caloxanton (wordpress.com, 2012).
Xanthone merupakan derivate dari campuran polifenol yang mempunyai aktivitas biologis yang signifikan dalam sistem in vitro (Linuma et al. 1996). Sebagian besar xanthone ditemukan dalam tumbuhan tinggi yang dapat diisolasi dari empat suku, yaitu Guttiferae, Moraceae, Polygalaceae, dan Gentianaceae (Sluis, 1985 ; ashfarkurnia.wordpress.com, 2011).
5.         Manfaat Manggis
Tanaman manggis selain digemari buahnya, kulit buahnya juga dikenal sebagai peluruh haid, obat sariawan, penurun panas, pengelat (adstringen), obat disentri (Heyne,1987). Antosianin yang memberikan warna ungu dalam kulit buah manggis dapat digunakan sebagai alternatif pewarna alami untuk makanan dan tekstil (Wijaya, 2009). Kulit buah manggis secara in vitro mempunyai aktivitas anti Plasmodium falsiparum (Mahabusarakam et al., 1986), antibakteri (Linuma et al., 1996), antioksidan (Moongkarndi et al., 2002), menginduksi apoptosis pada sel leukemia (Matsumoko et al., 2003), antijerawat dan anti TBC (Dikutip dari wordpress.com, 2010).
6.                         Kandungan Kimia
a.          Xanthone
Xanthone ialah bioflavonoid dengan molekul biologi aktif yang memiliki struktur cincin 6 karbon dan kerangka karbon rangkap, sehingga sangat stabil. Di alam ada 200 jenis xanthone, sejumlah 50 di antaranya ditemukan di kulit buah manggis.
Sifat antioksidan xanthone dalam kulit buah manggis dengan kadar yang tinggi memiliki sifat yang baik dan bermanfaat bagi tubuh, seperti anti-peradangan, anti-diabetes, anti-kanker, anti-bakteri, antijamur, anti-plasmodial, dan mampu meningkatkan kekebalan tubuh, hepatoprotektif. Di dalam senyawa xanthone yang paling banyak terkandung dalam buah manggis ialah kandungan α-mangostin dan γ-mangostin (repository.ipb.ac.id, 2013).
Gambar 2.2 Rumus Bangun Xanthone.
(www.sarimanggis.com, 2012).
b.          Saponin
Menurut Gunawan dan Mulyani (2004), glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin. Glikosida saponin bisa berupa saponin steroid atau saponin triterpenoida. Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi. Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk, menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin juga bersifat bisa menghancurkan butir darah merah lewat reaksi hemolisis. (Swaidatul, 2011 seperti dikutip dari Riska, 2013).
Saponin mengakibatkan hemolisis, sehingga relatif berbahaya bagi semua organisme bila saponin diberikan secara parenteral. Setengah sampai beberapa mg/kgBB saponin dapat berakibat fatal dan mematikan pada pemberian intravena. Saponin memiliki kegunaan dalam pengobatan, terutama karena sifatnya yang mempengaruhi absorbsi zat aktif secara farmakologis. (Swaidatul, 2011seperti yang dikutip oleh Riska, 2013).
Gambar 2.3 Rumus Bangun Saponin (http://en.wikipedia.org)
c.           Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi (Angiospermae) adalah flavon dan flavonol. Golongan flavon, flavonol, flavanon, isoflavon, dan khalkon juga sering ditemukan dalam bentuk aglikonnya menurut Markham (1988). (dikutip dari repository.ipb.ac.id, 2013).
Flavonoid adalah salah satu grup dari polifenol alami yang terdiri dari 3000 struktur yang mempunyai inti flavon C-15 yang sama yaitu dua cincin benzene (A dan B) yang berikatan dengan oksigen. Efek medicinal dari flavonoid mencakup efek meningkatkan integritas vaskuler, anti trombotik, vasodilator, antivirus (Robinson, 1995). Menurut Jawetz et al., (1992) fenol dan banyak senyawa fenolik merupakan unsur-unsur antibakteri yang kuat. Pada konsentrasi yang biasa digunakan, fenol dan derivatnya menimbulkan denaturasi protein (Riska, 2013).
Gambar 2.4 Rumus Bangun Flavanoid
(www.wikipedia.org, 2013).
d.          Tanin
 Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa polifenol (Deaville et al., 2010). Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein, karena tanin mengandung sejumlah kelompok ikatan fungsional yang kuat dengan molekul protein yang selanjutnya akan menghasilkan ikatan silang yang besar dan komplek yaitu protein tannin (Ahadi, 2003) (Dikutip dari repository.ipb.ac.id, 2013).
Tanin juga berfungsi sebagai desinfektan yang mampu menghambat pertumbuhan organisme (bakteriostatik) dan mampu mematikan suatu organisme. Adapun fungsi tanin yaitu sebagai pelindung dehidrasi, proses pembusukan, dan mengurangi pembengkakan. Pada kadar tanin yang tinggi, tanin mempunyai arti pertahanan pada tumbuhan yaitu mengusir hewan pemangsa tumbuhan. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma sehingga apabila hewan memakan tumbuhan yang mengandung tanin, maka reaksi penyamakan akan terjadi. (Harbourne, 1989 seperti yang dikutip oleh Riska, 2013).
Gambar 2.5 Rumus Bangun Tanin
(www.maskarizakariah.blogspot.com, 2013).

B.                Tinjauan Tentang Bakteri Staphylococcus aureus
1.         Klasifikasi Bakteri Staphylococcus aureus
Domain    :  Bacteria
Kingdom :  Eubacteria
Phylum     :  Fimucutes
Class         :  Bacilli
Orde         :  Bacillales
Family      :  Staphyloccaceae
Genus       :  Staphylococcus
Spesies     :  Staphylococcus aureus (G.M. Garrity, et al., 2007).

Gambar 2.6 Bakteri Staphhylococcus aureus (www.extension.org).
2.         Morfologi Bakteri
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, tidak bergerak, tidak berspora dan mampu membentuk kapsul. Berbentuk kokus dan tersusun seperti buah anggur. Ukuran Staphylococcus aureus berbeda-beda tergantung pada media pertumbuhannya. Apabila ditumbuhkan pada media agar, Staphylococcus aureus memiliki diameter 0,5-1,0 μm dengan koloni berwarna kuning. Dinding selnya mengandung protein, karbohidrat, peptidoglikan dan terdapat vili yang ditutupi asam lipotheikoat yang penting dalam pelekatan pada sel epitel (Tedjo, 1996).
3.         Tempat Hidup
Staphylococcus aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran-saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia dan hewan-hewan seperti hidung, mulut dan tenggorokan dan dapat dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Bakteri ini biasanya terdapat pada saluran pernafasan atas dan kulit. Bakteri ini juga sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus (Supardi, 1999).
4.         Perbiakan
Staphylococcus aureus mudah tumbuh pada hampir semua perbenihan bakteriologik dalam suasana aerob maupun mikro aerophilik. Staphylococcus aureus tumbuh optimum pada suhu tubuh, tetapi paling baik membentuk pigmen pada suhu kamar, koloni pada pembenihan berbentuk bulat, halus dan berkilauan membentuk berbagai pigmen (Tedjo, 1996).
5.         Pertumbuhan
Suhu optimum untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 35°C -37°C dengan suhu minimum 6,7 °C dan suhu maksimum 45,4°C. Bakteri ini dapat tumbuh pada pH 4,0-9,8 dengan pH optimum 7,0-7,5. pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya mungkin bila substratnya mempunyai komposisi yang baik untuk pertumbuhannya. Bakteri ini membutuhkan asam nikotinat untuk tumbuh dan akan distimulir pertumbuhannya dengan adanya thiamin. Pada keadaan anaerobik, bakteri ini juga membutuhkan urasil. Untuk pertumbuhan optimum diperlukan sebelas asam amino, yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin. Bakteri ini tidak dapat tumbuh pada media sintetik yang tidak mengandung asam amino atau protein. Staphylococcus aureus tahan terhadap suhu dibawah titik beku tetapi sensitif terhadap lingkungan asam dan berbagai senyawa kimia dan antibiotik (Supardi dan Sukamto, 1999; Ruri, 2012).
6.         Patogenesis
Sifat khas infeksi Staphylococcus aureus adalah penahanan lokal dari setiap fokus. Organisme dapat menyebar melalui saluran getah bening ke bagian tubuh lainnya (Bonang, 1986). Staphylococcus aureus menginfeksi siapa saja tanpa pandang bulu, terutama pada tubuh yang lemah sistem imunnya. Infeksi pada kulit atau luka luar biasanya berakibat pada penanahan, misalnya bisul atau luka bernanah lainnya. Area infeksi berwarna merah, bengkak, dan terasa sakit bila disentuh. Dalam kondisi parah, pembengkakan tersebut berkembang menjadi impetigo (pengerasan dari kulit) atau cellulitis (peradangan pada jaringan di bawah kulit). (Berghe, Paxton, 1991, Tedjo, 1996).
7.      Pencegahan
Cara untuk pencegahan Staphylococcus aureus yaitu dengan penyinaran sinar ultra violet pada tempat tidur, baju bekas penderita atau melarang penderita memasuki daerah-daerah tertentu, misalnya kamar bersalin, kamar bedah atau unit perawatan intensif (ICU) (Bonang, 1986).

C.                Antibiotik Golongan Sefalosporin (Sefadroksil)
Antibiotik β-laktam adalah golongan antibiotika yang memiliki kesamaan komponen struktur berupa adanya cincin beta-laktam dan umumnya digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri. Antibiotik β-laktam diantaranya : penisilin, sefalosporin, monobaktam, dan karbapenem senyawa yang berbeda-beda ini sebagaimana dinyatakan dalam namanya ditandai oleh cincin β-laktam yang beranggota 4 gugus karboksil yang biasanya ada dalam molekul memungkinkan terbentuknya garam, sehingga zat menjadi larut baik dalam air (biasanya garam natrium) (Ernst, 1991).
1.         Aktivitas Antibakteri
Seperti halnya antibiotik β-laktam lain, mekanisme kerja antimikroba sefalosporin ialah menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat ialah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Sefalosporin aktif terhadap kuman Gram-positif maupun Gram-negatif, tetapi spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi.
In vitro, sefalosporin generasi pertama memperlihatkan spektrum antimikroba yang terutama aktif terhadap kuman Gram-positif. Keunggulannya dari sefalosporin ialah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar S. aureus dan  Streptococcus termasuk S. pyogenes, S. viridans dan S. pneumoniae. Bakteri Gram-positif yang juga sensitif ialah S. anaerob, Clostridium perfringens, Listeria monocytogenes dan Corynebacterium diphteriae. Aktivitas antimikroba berbagai jenis sefalosporin generasi pertama sama satu dengan yang lain.


2.         Sifat Fisika
Kebanyakan sefalosporin berupa padatan yang berwarna putih, coklat, atau kuning muda, yang biasanya tidak berbentuk (amorf), tetapi kadang-kadang bisa berbentuk kristal. Sefalosporin umumnya tidak memiliki titik leleh yang tinggi. Sifat asamnya umumnya berasal dari gugus karboksilatnya yang terikat pada cincin dihidrothizin.
3.         Sifat Kimia
Adanya gugus β-laktam sangat memepengaruhi sifat kimia dari sefalosporin. Bentuk geometri cincin dengan ikatan rangkap didalamnya, menjadikan sefalosporin sebagai molekul yang cukup stabil karena memungkinkan terjadinya resonansi.
Sefalosporin terbagi dalam 4 kelompok atau generasi yang terutama didasarkan atas aktivitas antimikrobanya yang secara tidak langsung juga sesuai dengan urutan masa pembuatannya.
4.         Indikasi
Sefalosporin generasi I sangat baik untuk mengatasi infeksi kulit dan jaringan lunak oleh S. Aureus dan S. Pyogenes. Pada tindakan bedah untuk mencegah kontaminasi bakteri yang berasal dari flora kulit, pemberian dosis tunggal sefazolin sesaat sebelum tindakan dilakukan merupakan terapi profilaksis dengan hasil yang baik. Obat ini juga sangat efektif untuk mengatasi infeksi oleh K. pneumoniae. Perlu mendapat perhatian bahwa sefalosporin generasi I tidak dianjurkan untuk mengatasi infeksi sistemik yang berat.
Gambar 2.7 Struktur Kimia Sefadroksil
(sumber: http:// wikimedia.org, 2013)

Sefadroksil adalah obat antibiotika sefalosporin generasi pertama yang merupakan turunan para-hidroksi dari sefaleksin. Secara organoleptis sefadroksil merupakan serbuk hablur berwarna putih dan berbau khas. Sefadroksil ini berspektrum luas yaitu mampu menghambat dan membunuh bakteri positif ataupun negatif. Sefadroksil digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang dapat menyebabkan infeksi ringan hingga sedang, seperti infeksi pada kulit, infeksi saluran tenggorok dan infeksi saluran kencing. Contoh dari bakteri ini adalah Staphyllococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Streptococcus pyogenes, Moraxella catarrhalis, E. coli, Klebsiella, dan  Proteus mirabilis.



D.                Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.
Hal-hal yang penting diperhatikan dalam melakukan ekstrasi yaitu pemilihan pelarut yang sesuai dengan sifat-sifat polaritas senyawa yang ingin  diekstraksi ataupun sesuai dengan sifat kepolaran kandungan kimia yang diduga dimiliki simplisia tersebut, hal lain yang perlu diperhatikan adalah ukuran simplisia harus diperkecil dengan cara perajangan untuk memperluas sudut kontak pelarut dan simplisia, tapi jangan terlalu halus karna dikhawatirkan menyumbat pori-pori saringan menyebabkan sulit dan lamanya proses ekstraksi.
Ada beberapa metode ekstraksi, yaitu :
1.      Cara Dingin
a.    Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes RI, 2000).
b.       Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan) (Depkes RI, 2000).
2.         Cara Panas
a.     Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).
b.    Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu   baru yang umumnya dilakukan dengan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).
c.    Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C (Depkes RI, 2000).
d.    Infus
Infus adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan alam. Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia menggunakan air pada temperatur 96-980C selama 15-20 menit (Depkes RI, 2000).
e.     Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 3000C) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).

E.                 Pengujian Aktifitas Antibakteri
Pengujian aktivitas antibakteri adalah teknik untuk mengukur berapa besar potensi atau konsentrasi suatu senyawa dapat memberikan efek bagi mikroorganisme (Dart, 1996).
Ada tiga macam metode yang digunakan untuk pengkajian aktivitas antibakteri, yaitu:
1.         Metode Penyebaran (Diffusion Method)
a.    Metode Cakram Kertas (Paper Disk Method)
b.    Metode Cairan Dalam cincin (Ring Diffusion Method)
c.    Metode Lubang (Hole Plate Method)
2.         Metode Pengenceran (Dilution Method)
a.    Metode Pengenceran Agar (Agar Dilution Method)
b.    Metode  Pengenceran Tabung (Tube Dilution Method)


3.         Metode Bioautografi (Bioautografy Method)
a.    Metode Bioautogragi Kontak (Contact Bioautografy)
b.    Method Bioautografi Langsung (Direct Bioautografy)
c.    Metode Bioautografi Pencelupan (Immersion Bioautografy).
1.         Metode Penyebaran
Metode ini dilakukan dengan cara menanam bakteri dalam media agar padat yang sesuai selanjutnya diletakkan dalam cakram atau silinder yang telah ditetesi dengan larutan uji atau bisa juga bahan uji dimasukkan dalam lubang atau cangkir agar yang telah dibuat pada media. Media yang berisi inokulum bakteri dan bahan uji diinkubasi pada suhu 35 C selama 18-24 jam. Aktivitas anti bakterinya dilihat dengan mengukur daerah disekitar cakram, lubang atau cangkir agar yang tidak ditumbuhi bakteri. Makin besar diameter daerah hambatan pertumbuhan tersebut berarti aktivitas bahan uji terhadap bakteri makin baik (Tedjo, 1996).
2.         Metode Pengenceran
Metode pengenceran dapat dilakukan dengan pengenceran dalam tabung maupun dengan pengenceran agar. Cara pengenceran dalam tabung dilakukkan dengan mengencerkan bahan uji dengan media cair menjadi kelipatan dua secara bertahap sehingga didapatkan beberapa konsentrasi dengan kelipatan setengahnya, sedangkan pada pengenceran agar menggunakan satu seri lempeng agar dengan konsentrasi bahan uji yang berbeda. Selanjutnya diinokulasi dengan suspensi bakteri dan inkubasi selama 24 jam pada suhu 35-37C kemudian diamati hambatan pertumbuhan bakteri dengan membandingkan kekeruhan atau pertumbuhannya dengan kontrol yang mengandung media konsentrasi penghambatan minimal didapatkan pada tabung yang jernih pada pengenceran tertinggi. Metode ini digunakan untuk mengetahui harga kadar hambat minimal suatu bahan antibakteri (Tedjo, 1996).
3.         Metode Bioautografi
Metode ini sangat berguna untuk mengetahui senyawa baru atau yang belum diketahui aktivitas anti bakterinya. Bahan uji dipindahkan ke dalam cawan petri yang berisi agar dan inokulum bakteri melalui proses difusi. Bioautografi kontak menggunakan prinsip difusi senyawa yang terpisah dengan kromotografi lapis kertas. Lempeng kromatografi ditempatkan pada permukaan agar yang telah diinokulasi bakteri. Setelah kurang lebih 30 menit lempeng dipindahkan, diinkubasi dan diamati senyawa anti bakteri akan berdifusi pada lapisan agar dan menghambat pertumbuhan bakteri. Pada bioautografi langsung zona hambatan diamati secara langsung pada lempeng kromatografi yang telah disemprot suspensi bakteri dalam media cair dan diinkubasi pada suhu dan waktu yang sesuai. Sedangkan metode bioautografi pencelupan dilakukan dengan mencelupkan lempeng kromatografi ke dalam media yang telah diinokulasi bakteri, setelah media yang menempel pada lempeng kromatografi mengeras, diinkubasi dan dilakukan pengamatan daerah hambatan. (Tedjo, 1996).
4.         Tinjauan Tentang Metode yang Digunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakram kertas (Paper Disk Method) dengan alasan metode ini sering digunakan di laboratorium, lebih mudah penggunaannya, dan dapat langsung dibandingkan dengan standar atau kontrol positif dan kontrol negatifnya dalam satu cawan petri. Parameter yang diukur yaitu daerah jernih yang ada disekitar kertas cakram.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar